Mahkamah Agung Selandia Baru, Jumat (7/10), mengambil langkah yang tidak biasa. Mereka membatalkan vonis bersalah yang dijatuhkan kepada seorang pria meskipun ia telah meninggal tiga tahun lalu.
Pengadilan tertinggi itu menemukan adanya kekeliruan substansial pengadilan setelah Peter Ellis dihukum atas dakwaan melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak di pusat penitipan anak, tempat ia bekerja sebagai guru lebih dari 30 tahun yang lalu.
Biasanya pengadilan banding berakhir setelah orang yang mengajukannya meninggal. Namun dalam kasus ini, Mahkamah Agung memutuskan bahwa demi kepentingan keadilan, pengadilan banding tetap dapat dilanjutkan bahkan setelah Ellis meninggal karena kanker pada 2019 pada usia 61 tahun.
Ketika Ellis pertama kali diadili pada tahun 1993, pengadilannya dibayangi oleh kekhawatiran global mengenai kegiatan-kegiatan bernuansa ritual. Kasus pada Ellis sendiri bergantung pada ingatan anak-anak yang masih sangat kecil, dan banyak pihak yang mempertanyakan manfaatnya sejak awal. Beberapa orang percaya, fakta bahwa Ellis secara terbuka mengakui dirinya gay menyulitkan posisinya di pengadilan.
Ellis dihukum pada tahun 1993 atas 16 tuduhan pelecehan seksual terhadap tujuh anak di pusat penitipan anak Christchurch. Dia menghabiskan tujuh tahun di penjara dan bersikeras menyatakan dirina tidak bersalah.
Mahkamah Agung menemukan bukti bahwa Karen Zelas, seorang psikiater yang mengawasi proses wawancara terhadap anak-anak yang menjadi korban, berperilaku berat sebelah dan mengalami gangguan penalaran logis.
Pengadilan mendapati Zelas tidak memberi tahu para juri tentang kemungkinan penjelasan lain mengenai perilaku anak yang berkisar dari mengompol, gangguan tidur, hingga perilaku seksual.
Pengadilan juga mendapati bahwa Zelas belum sepenuhnya menjelaskan risiko bahwa bukti-bukti yang diperoleh dari anak-anak telah terkontaminasi, misalnya oleh orang tua mereka, yang telah saling bertemu sebelum persidangan.
Saudara laki-laki Ellis, Mark Ellis, mengatakan kepada wartawan bahwa keputusan itu sudah lama ditunggu-tunggu. ”Saya inginnya saudara saya ada di sini, karena itu benar-benar apa yang pantas ia dapatkan,” katanya.
Namun, orang tua dari beberapa anak yang diduga menjadi korban Ellis mengatakan bahwa mereka “terkejut dan sedih” atas keputusan tersebut dan bahwa pengadilan lebih berpihak kepada penjahat daripada para korban.
Salah satu argumen yang tidak biasa yang dibuat oleh pengacara Ellis adalah bahwa berdasarkan adat dan tradisi Maori, citra dan status seseorang terus berlanjut setelah kematian. Ellis sendiri bukan orang Maori, tetapi pengadilan menerima bahwa argumen tersebut dapat berlaku untuk semua warga Selandia Baru.
Meskipun argumen tersebut tidak menjadi faktor penentu, Mahkamah Agung menganggapnya mendukung dan memperkuat kesimpulan bahwa pengadilan banding harus dilanjutkan setelah kematian Ellis. [ab/ka]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.