Setelah aborsi dan senjata, Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) akan menangani masalah kontroversial dan sensitif lain pada Senin (31/10) mendatang, yaitu penggunaan unsur ras dalam mempertimbangkan siapa yang patut diterima menjadi mahasiswa di kampus-kampus ternama Amerika.
Mahkamah yang didominasi hakim berhaluan konservatif itu mungkin akan membuat keputusan pembatalan bersejarah lainnya, seperti yang dilakukan pada Juni lalu ketika mereka membatalkan keputusan kasus bersejarah tahun 1973 “Roe v. Wade,” yang menjadi dasar hak aborsi di Amerika.
Pengadilan tertinggi di AS itu akan mendengarkan argumen penggunaan unsur ras dalam penerimaan mahasiswa baru di kampus Harvard dan University of North Carolina (UNC) – masing-masing merupakan institusi pendidikan tinggi swasta dan negeri tertua di Amerika – selama dua jam.
Harvard dan UNC, seperti beberapa sekolah kompetitif lainnya, menggunakan unsur ras sebagai faktor penerimaan mahasiswa baru untuk mencoba memastikan terpenuhinya aspek keterwakilan kelompok minoritas, secara historis warga kulit hitam Amerika, di dalam komposisi mahasiswa.
Kebijakan itu dikenal dengan istilah “tindakan afirmatif” (affirmative action), yang muncul dari Gerakan Hak Sipil pada akhir 1960-an untuk “membantu mengatasi sejarah panjang diskriminasi dan ketidaksetaraan sistemik negara kita dalam dunia pendidikan tinggi,” kata Yasmin Cader, Wakil Direktur Hukum American Civil Liberties Union (ACLU).
Kebijakan itu sudah memicu kontroversi sejak awal, di mana sebagian besar oposisi muncul dari sayap kanan. Sejumlah pelajar kulit putih telah mengajukan gugatan hukum selama bertahun-tahun dengan mengklaim praktik “diskriminasi terbalik.”
Sembilan negara bagian di AS telah melarang tindakan afirmatif di universitas-universitas negeri, termasuk di California, di mana pemilih melakukannya melalui sebuah usulan di surat suara pada 1996 dan menolak upaya untuk menghidupkan kembali kebijakan itu pada 2020.
Mahkamah Agung sebelumnya telah mendukung tindakan afirmatif, terakhir pada 2016 dengan selisih satu suara, tetapi para penentangnya percaya bahwa mahkamah saat ini yang berhaluan kanan akan lebih bersimpati mendengarkan argument mereka.
“Jika mereka saja membalikkan (keputusan kasus) Roe, saya rasa mereka juga kemungkinan akan membalikkan (keputusan kasus) Bakke,” ujar Ilya Shapiro, peneliti senior Manhattan Institute, lembaga kajian konservatif.
Dalam keputusan bersejarah tahun 1978 – Wali Universitas California v Bakke – Mahkamah Agung melarang penggunaan kuota dalam penerimaan mahasiswa baru sebagai inkonstitusional.
Namun, Mahkamah Agung mengatakan bahwa asal ras atau etnis dapat dipertimbangkan sebagai salah satu faktor dalam penerimaan mahasiswa baru untuk memastikan komposisi mahasiswa yang beragam.
Dengan enam orang hakim, di mana tiga di antaranya dinominasikan oleh mantan Presiden AS Donald Trump, kubu konservatif memegang mayoritas yang kuat di pengadilan tertinggi dengan sembilan hakim agung itu.
Sebuah kelompok bernama Students for Fair Admissions, yang mengklaim mempunyai 20.000 anggota dan didirikan oleh Edward Blum, berada di balik serangan terbaru terhadap kebijakan itu. Edward Blum adalah tokoh penentang lama tindakan afirmatif yang berhaluan konservatif,
Pada 2014, kelompok itu mengajukan gugatan terhadap Harvard dan UNC dengan klaim bahwa kebijakan penerimaan mahasiswa baru sadar-ras mereka mendiskriminasi peserta keturunan Asia yang sama-sama memenuhi syarat.
Mahasiswa Amerika keturunan Asia diklaim kurang terwakili di kedua kampus itu, mengingat catatan pencapaian akademik luar biasa mereka, menurut aduan gugatan tersebut.
“Di negara multiras dan multietnis seperti kita, standar penerimaan mahasiswa baru tidak boleh ditingkatkan untuk beberapa ras dan etnis tertentu, namun dikurangi untuk lainnya,” kata Blum.
“Negara kita tidak dapat memperbaiki diskriminasi masa lalu dan preferensi rasial dengan melakukan diskriminasi baru dan preferensi ras yang berbeda.” [rd/ah]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.