Sebuah laporan Program Lingkungan PBB (UNEP) menyatakan lebih dari 930 juta ton limbah makanan dihasilkan pada tahun 2019. Kepala Bidang Energi dan Iklim UNEP, Mark Radka, mengatakan hal itu mewakili sekitar 20% dari makanan yang tersedia.
“Ada bukti bahwa limbah makanan rumah tangga dihasilkan pada tingkat per kapita yang sama di semua negara, terlepas dari tingkat pendapatan negara. Jadi setiap rumah tangga rata-rata menghasilkan limbah makanan sekitar 74 kilogram per orang, per tahun,” ujarnya.
Hal ini memiliki implikasi serius mengingat perkiraan terbaru PBB bahwa 828 juta orang di seluruh dunia akan kelaparan.
Temuan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB FAO menunjukkan 14% pangan dunia hilang setelah panen. Diperkirakan sekitar 17% terbuang di ritel dan pada tahap konsumsi.
Pejabat Senior FAO Bidang Pengembangan Rosa Rolle mengatakan limbah makanan dan makanan yang susut merupakan masalah global yang memiliki dampak signifikan terhadap iklim, ketahanan pangan dan keberlanjutan sistem pertanian pangan.
“Selama dua tahun terakhir, sistem pertanian pangan di seluruh dunia telah terganggu oleh pandemi Covid-19, perubahan iklim dan perang di Ukraina. Hal ini mendorong jutaan orang ke dalam kerawanan pangan, kelaparan dan kekurangan gizi.”
Menurut situs FAO limbah makanan dan makanan yang susut sama-sama merupakan sampah makanan, tetapi kedua istilah itu memiliki perbedaan.
Food loss adalah sampah makanan karena penurunan massa dan kualitas makanan yang dapat dimakan pada tahap produksi, pasca panen, dan pemrosesan rantai makanan. Hal ini sebagian besar terjadi di negara berkembang. Misalnya sayur mayur dan buah-buahan atau makanan yang masih mentah tapi sudah tidak dapat diolah dan akhirnya dibuang.
Food waste atau limbah makanan mengacu pada pembuangan makanan yang dapat dimakan di tingkat ritel dan konsumen; cenderung disebut sebagai pemborosan makanan. Sebagian besar terjadi di negara maju.
FAO mengatakan limbah makanan dan makanan yang susut mempercepat perubahan iklim dan merusak lingkungan. Dikatakan sekitar 31% total emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global, disebabkan oleh sistem pertanian pangan.
UNEP mengatakan pengurangan limbah makanan dan makanan yang susut ini dapat menurunkan emisi metana sebesar 15% pada tahun 2030. Metana memiliki lebih dari 80 kali kekuatan pemanasan karbon dioksida selama 20 tahun pertama setelah mencapai atmosfir. Laporan itu juga menunjukkan sedikitnya 25% dari pemanasan global oleh metana saat ini disebabkan oleh tindakan manusia. [em/jm]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.