Guna mengintensifkan upaya melawan inflasi yang tinggi, Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed, pada Rabu (21/9), kembali menaikkan suku bunga utama sebesar tiga perempat point. Langkah tersebut merupakan yang ketiga kalinya diambil berturut-turut dalam tahun ini. Bank Sentral tetap mengisyaratkan kenaikan suku bunga yang lebih besar di masa depan, sebuah langkah agresif yang akan meningkatkan risiko resesi.
Bank Sentral menaikkan suku bunga acuan jangka pendek, yang akan mempengaruhi banyak pinjaman konsumen dan bisnis, ke kisaran 3 hingga 3,25 persen – yang merupakan level tertinggi sejak awal tahun 2008.
Para pejabat Bank Sentral juga memperkirakan mereka akan menaikkan lebih jauh suku bunga acuan menjadi sekitar 4,4 persen pada akhir tahun, sebuah poin persentase yang lebih tinggi dibanding yang mereka perkirakan pada Juni lalu.
Para pejabat juga berharap untuk menaikkan suku bunga ke tingkat lebih jauh pada tahun depan, menjadi sekitar 4,6 persen – yang akan menjadi level tertinggi sejak tahun 2007.
Langkah Bank Sentral tersebut terjadi menyusul laporan pemerintah pada pekan lalu yang menunjukan meluasnya biaya tinggi lebih jauh dalam perekonomian.
Dengan menaikkan suku bunga, Bank Sentral membuat upaya mengambil hipotek atau pinjaman mobil dan bisnis menjadi lebih mahal. Konsumen dan bisnis kemungkinan akan meminjam dan membelanjakan uangnya lebih sedikit sehingga akan mendinginkan ekonomi dan memperlambat inflasi.
Berbicara dalam konferensi pers pada Rabu sore, Ketua Bank Sentral Amerika Jerome Powell mengatakan sebelum pejabat-pejabat The Fed mempertimbangkan untuk menghentikan kenaikan suku bunga, mereka “ingin benar-benar yakin bahwa inflasi sudah kembali turun” ke target inflasi 2 persen.
Ia mencatat bahwa kuatnya pasar tenaga kerja memicu kenaikan upah yang membantu menaikkan inflasi.
Pejabat-pejabat Bank Sentral mengatakan sedang mencari “pendaratan lunak,” di mana mereka akan berhasil memperlambat pertumbuhan sehingga dapat “menjinakkan” inflasi tetapi tidak terlalu banyak sehingga memicu terjadinya resesi.
Namun sebagian besar ekonom mengatakan seiring perjalanan waktu, kenaikan suku bunga yang tajam akan meningkatkan pemutusan hubungan kerja (PHK), membuat pengangguran melesat dan menimbulkan resesi besar pada akhir tahun ini atau awal tahun depan.
Dalam perkiraan ekonomi terbaru, pembuat kebijakan di Bank Sentral memproyeksikan pertumbuhan ekonomi akan tetap lemah untuk beberapa tahun mendatang, seiring meningkatnya jumlah pengangguran.
Tingkat pengangguran diperkirakan akan mencapai 4,4 persen pada akhir 2023 atau naik dari level saat ini yang berada di level 3,7 persen. Secara historis para ekonom mengatakan setiap kali tingkat pengangguran meningkat setengah point selama beberapa bulan, maka kondisi tersebut akan menyebabkan resesi. [em/jm]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.