Dalam diskusi mengenai upaya persidangan itu, Tineke Rumkabu, Ketua organisasi korban pelanggaran HAM, Bersatu Untuk Kebenaran (BUK) kembali mempertanyakan duduknya satu terdakwa dalam kasus ini di pengadilan. Karena itu, wajar jika keluarga korban mempertanyakan, di mana pelaku lain yang diduga turut terlibat.
“Sehingga kami merasa, bahwa proses-proses seperti ini, kami sebagai orang Papua, kami berpikir bahwa kami tidak akan mendapat keadilan dari pemerintah atau negara,” katanya dalam diskusi yang diselenggarakan LBH Makassar.
Tineke mengingatkan bahwa proses persidangan kali ini kemungkinan akan serupa dengan proses hukum kasus Abepura Berdarah tahun 2000, yang tidak membawa keadilan bagi korban dan warga Papua secara umum.
Proses persidangan yang digelar di Makassar juga menyulitkan keluarga korban untuk memantau karena kendala akses dan biaya besar. Tineke bahkan menilai, janji Presiden Joko Widodo ketika berkunjung ke Papua, untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di sana tidak terbukti.
“Apa yang Presiden Jokowi sampaikan itu seakan-akan cuma untuk mengibur hati orang Papua, atau hati para korban dan keluarga korban yang selama ini mengharapkan keadilan dari negara ini,” tandasnya.
Pengacara dan pendamping keluarga korban pelanggaran HAM berat Paniai, Yones Douw, bahkan menilai negara sedang melindungi pelaku yang sebenarnya dalam kasus ini. Tidak hanya dalam kasus ini, pada kasus yang lain seperti penembakan yang mengakibatkan Pendeta Yeremia Zanambani meninggal juga tidak diusut. Begitu pula dengan Kasus di Dogiyai, di mana dua orang ditembak oleh aparat keamanan. Sampai sekarang pelakunya tidak pernah diadili.
“Kita tidak boleh main-main. Kalau mau menolong, menolonglah dengan cara yang benar. Tapi kami tahu bahwa negara sedang berusaha memperbaiki nama baik di tingkat internasional,” ujar Yones.
Sidang kasus Paniai dinilai lebih sebagai upaya pemerintah memenuhi tuntutan internasional. Kasus pelanggaran HAM lain di Papua sampai saat ini banyak yang tidak tersentuh.
Pendeta Matheus Adadikam, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi HAM (ELSHAM) menilai, ketidakmauan keluarga korban dalam proses persidangan di Makassar, adalah tanda protes.
“Korban-korban menarik diri, tanda protes bahwa pengadilan yang diharapkan korban dan keluarga bisa mendapatkan keadilan secara hukum, justru jauh dari harapan,” kata dia.
Dihadirkan untuk Gagal
Secara tegas, Direktur LBH Makassar Muhammad Haedir meyakini pengadilan ini diselenggarakan memang tidak untuk mencapai tujuan. Salah satu unsur pelanggaran HAM berat adalah tindakan yang terstruktur, sistematis dan masif. Sulit membayangkan sebuah tindakan dilakukan memenuhi unsur itu, hanya oleh satu pelaku.
“Sebenarnya pengadilan kali ini memang diciptakan untuk gagal. Gagal untuk membuktikan siapa pelaku sebenarnya,” ujarnya.
Sebagai orang yang berkecimpung dalam bidang hukum, Haedir mengaku sulit membayangkan bagaimana jaksa akan mengonstruksi dakwaan dalam perkara ini.
“Karena konstruksinya harus memenuhi unsur-unsur, dan unsur-unsur itu sudah pasti sistematis, terstruktur dan juga meluas. Sangat sulit membuat dakwaan untuk satu orang, yang sebenarnya unsurnya harus bersama-sama,” ujarnya.
LBH Makassar berharap seluruh proses persidangan berjalan terbuka dan dapat diakses seluruh pihak. Tidak ada upaya represif, terutama bagi mahasiswa atau warga Papua di Makassar, yang ingin datang ke pengadilan.
Julius Ibrani, Sekjen Perhimpunan Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia (PBHI) menyayangkan Komnas HAM secara tidak langsung turut menjadi bagian dari refleksi negara dalam penyelesaian kasus ini. Kondisi yang sama terjadi dalam kasus pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani.
Salah satu buktinya adalah tidak ada rantai komando dalam kasus yang dakwaannya didasarkan pada laporan Komnas HAM. Padahal, Polri dan TNI adalah institusi yang bergerak atas komando dari atas. Dengan terputusnya rantai komando, terputus pula pertanggungjawaban institusional dari aparat keamanan.
“Kami melihat ini sengaja dilokalisir hanya bersifat tanggung jawab pribadi. Dengan demikian, kalau unsur komandonya hilang, lalu pertanggungjawaban institusionalnya hilang. Seolah-olah, ini inisiatif diri pribadi masing-masing, maka ini sama saja seperti perbuatan pidana pada umumnya,” ujar Julius.
Jangan Jadi Model
Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti menilai pengadilan HAM kasus Paniai di Makassar dilakukan karena Presiden Jokowi ingin mengesankan kasus ini selesai di periode kekuasaannya. Apalagi, kasus itu terjadi pada 2014, ketika Jokowi duduk sebagai presiden.
Karena berbagai kekurangan dan kelemahannya, Fatia berharap proses di Makassar ini tidak menjadi model penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat lain.
“Jangan sampai, pengadilan kasus Paniai ini pada akhirnya menjadi sebuah prototype ataupun contoh untuk pengadilan-pengadilan HAM lainnya, yang akan terjadi di depan. Karena banyak sekali proses yang janggal dan tidak diselesaikan. Ini hanya memperlihatkan bahwa pengadilan Paniai sebagai formalitas,” kata Fatia.
Pada sisi lain, Wirya Adiwena, Deputi Direktur Amnesty Intenational Indonesia memastikan bahwa dunia internasional tetap menyoroti situasi pelanggaran HAM di Papua. Wirya menolak klaim sejumlah pihak di pemerintahan, yang mengatakan dunia melihat Papua baik-baik saja.
Laporan tahunan Sekretaris Jenderal Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) baru-baru ini juga menyebut pelanggaran HAM di Papua, dalam laporan pada bagian situasi Indonesia.
Wirya menegaskan, seharusnya momentum persidangan kasus pelanggaran HAM berat Paniai ini menjadi upaya menunjukkan kepada seluruh pihak, bahwa pemerintah serius menanganinya.
“Sayangnya, kelihatannya negara masih belum berhasil memberi kepastian itu kepada kita semua. Sayangnya, negara belum berhasil mengambil kesempatan ini secara serius. Untuk membawakan rasa keadilan melalui proses yang seharusnya bersejarah ini,” tegasnya. [ns/ka]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.