Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan 75 persen publik sangat percaya atau cukup percaya dengan Kejaksaan Agung dalam penegakan hukum. Urutan kedua dan ketiga diduduki Pengadilan dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedangkan Polri yang sempat menempati urutan pertama melorot ke posisi terakhir (empat) dengan 63 persen tingkat kepercayaan publik.
Survei ini melibatkan 1.200 responden yang diwawancara langsung pada 13-20 September 2022 dengan tingkat kesalahan kurang lebih 2,9 persen.
“Sejak saya aktif dalam dunia riset opini publik tahun 1999 sampai sekarang. Baru belakangan, Kejaksaan Agung paling dipercaya publik,” jelas Burhanuddin dalam konferensi pers secara daring, Minggu (2/10).
Burhanuddin menambahkan lembaga yang berada di tingkat teratas posisi dalam hal kepercayaan publik pada lembaga yang memberantas korupsi juga diduduki oleh Kejaksaan Agung, sementara Polri berada dalam posisi paling akhir.
Survei ini juga menunjukkan kesadaran publik terhadap sejumlah kasus korupsi dalam setahun terakhir tidak mengalami perubahan yakni sekitar 50 persen. Beberapa kasus korupsi yang menjadi sorotan di antaranya, yaitu kasus korupsi minyak goreng, Bansos COVID-19, dan Jiwasraya.
“Jadi semakin berhubungan isu korupsi, semakin publik mengikuti berita itu tadi,” tambahnya.
Isu pemberantasan korupsi juga masuk dalam lima besar masalah mendesak yang harus diselesaikan pemimpin nasional dalam lima tahun dengan persentase 9 persen atau urutan keempat. Sedangkan tiga besar masalah mendesak yang harus diselesaikan yaitu pengendalian harga kebutuhan pokok (42,9 persen), lapangan kerja (16 persen), dan mengurangi kemiskinan (9,3 persen).
Menko Polhukam Mahfud MD mengapresiasi survei Indikator Politik Indonesia dan akan menjadi pertimbangan dalam pengambilan kebijakan pemerintah. Kata dia, pemerintah dan Polri juga sudah berkomitmen untuk melakukan reformasi di tubuh Polri. Utamanya reformasi kultural dan pemecahan kewenangan Divisi Propam Polri.
Namun, untuk penanganan korupsi di Mahkamah Agung (MA) dan hakim, Mahfud menuturkan tidak mudah bagi pemerintah untuk mengambil langkah perbaikan. Ia beralasan hakim memiliki kemerdekaan dalam sebuah perkara sehingga pemerintah tidak boleh campur tangan.
“Pengawasan ke Mahkamah Agung tidak mudah. Ketika reformasi kita membentuk Komisi Yudisial karena MA tidak mampu mengawasi sendiri. Tapi begitu dibentuk, hakim agung resisten digugat ke MK dipreteli kewenangannya,” jelas Mahfud.
Mahfud menambahkan pemotongan kewenangan Komisi Yudisial ini membuat lembaga ini seperti tidak ada dalam pengawasan hakim-hakim di tanah air. Karena itu, kata Mahfud, yang dapat dilakukan pemerintah yaitu dengan masuk melalui kebijakan panitera dan jabatan struktural di pengadilan untuk mengurangi korupsi.
Pemerintah, kata dia, juga akan segera mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset agar orang-orang takut melakukan tindak pidana korupsi. Sebab, seseorang dapat dirampas kekayaannya jika terlibat dalam kasus korupsi. [sm/em]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.