Perdana Menteri Bangladesh mengatakan pada hari Senin (12/9) bahwa keberadaan lebih dari satu juta pengungsi Rohingya yang tinggal secara berkepanjangan di kamp-kamp pengungsian yang padat di negara itu telah menjadi masalah keamanan dan stabilitas yang serius.
“Terlepas dari kesengsaraan yang mereka alami, kehadiran mereka yang berkepanjangan menyebabkan dampak serius terhadap stabilitas ekonomi, lingkungan, keamanan, sosial dan politik Bangladesh,” kata Perdana Menteri Sheikh Hasina dalam upacara pembukaan pertemuan pejabat militer 24 negara di kawasan Indo-Pasifik yang digelar selama tiga hari.
Amerika Serikat menjadi tuan rumah bersama pertemuan, yang disebut sebagai Seminar Manajemen Militer Indo-Pasifik, bersama Bangladesh.
Sementara militer negera-negara peserta mendiskusikan manajemen bencana, kejahatan transnasional, masalah keamanan dan pemberdayaan perempuan, Bangladesh justru menggunakan platform tersebut untuk menyoroti masalah pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan yang terjadi di negara asal mereka, Myanmar.
Peserta pertemuan, termasuk AS, Kanada, Australia, Jepang, Indonesia, India, China, dan Vietnam, akan mengunjungi kamp-kamp pengungsi Rohingya yang luas untuk melihat langsung keadaan mereka, kata Jenderal S.M. Shafiuddin Ahmed, panglima tentara Bangladesh.
Ahmed mengatakan, para pemimpin militer akan dibawa ke kamp-kamp di Distrik Cox’s Bazar untuk memberi mereka “persepsi yang jelas” tentang gawatnya krisis pengungsi dan mengapa pemulangan mereka ke Myanmar perlu dilakukan.
Bulan lalu menandai tahun kelima sejak lebih dari 700.000 pengungsi Rohingya melakukan eksodus massal menuju Bangladesh, untuk melarikan diri dari tindakan keras militer Myanmar. Secara keseluruhan, Bangladesh menampung lebih dari satu juta pengungsi Rohingya.
Hasina mengatakan bahwa repatriasi merupakan satu-satunya solusi dari krisis itu, namun Bangladesh tidak akan memaksa mereka kembali ke Myanmar.
Para pejabat Bangladesh telah mengungkapkan rasa frustrasi mereka setelah setidaknya dua upaya repatriasi pengungsi gagal dilakukan di bawah persetujuan bilateral yang ditengahi oleh Tiongkok. Para pengungsi Muslim Rohingya mengaku bahwa kondisi di Myanmar yang mayoritas beragama Budha masih terlalu berbahaya, di mana mereka menghadapi diskriminasi secara meluas.
Charles A. Flynn, komandan jenderal Angkatan Darat AS, mengatakan kepada wartawan bahwa dia tidak dapat menjawab pertanyaan mengenai kebijakan, misalnya, bagaimana militer dapat membantu merepatriasi pengungsi Rohingya ke Myanmar, namun ia berterima kasih kepada Bangladesh karena sudah menyusun perjalanan para delegasi ke kamp-kamp pengungsi.
Krisis pengungsi Rohingya telah dibawa ke pengadilan internasional, di mana Myanmar telah membantah melakukan kesalahan.
Bulan lalu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan bahwa AS tetap “berkomitmen untuk memajukan keadilan dan akuntabilitas” bagi warga Rohingya dan seluruh warga Myanmar. [rd/jm]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.