Presiden Iran Ebrahim Raisi mengatakan dia tidak akan bersedia menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015 kecuali kalau Amerika menjamin tidak akan keluar lagi dari pakta itu, seperti dilakukan pemerintahan Trump pada 2018. Sementara itu, dua anggota Kongres dari fraksi Republik mengatakan kepada VOA, mereka tidak percaya bahwa Iran mempunyai itikad baik.
Sementara para pemimpin dunia mulai berkumpul di New York City untuk Sidang Umum PBB atau UNGA, Presiden Iran Ebrahim Raisi memupus harapan untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir internasional Iran 2015.
Dalam wawancara dengan TV CBS News untuk acara ’60 Minutes,’ Raisi mengatakan, sejak pemerintahan Trump secara sepihak keluar dari pakta itu pada 2018, Iran menginginkan jaminan dari Amerika bahwa itu tidak akan terjadi lagi di bawah pemerintahan yang baru.
Seorang pakar mengatakan kepada VOA bahwa akan sangat sulit bagi pemerintah Amerika untuk memberi jaminan itu kepada Iran atas nama pemerintahan pada masa depan.
Alex Vatanka adalah Direktur Program Iran di Middle East Institute di Washington. Kepada VOA melalui Skype, ia mengatakan, “Jadi, menurut saya, yang perlu dipahami pihak Iran adalah, jika mereka benar-benar ingin membuat kesepakatan berikutnya lebih langgeng, berkelanjutan, dan lebih sulit untuk ditinggalkan oleh siapa pun yang menjadi presiden Amerika, maka Iran perlu, demi kepentingannya sendiri, segera memperluas dialog politik dengan Amerika untuk membangun kepercayaan,”jelasnya.
Dalam wawancara dengan VOA di Gedung Putih, Koordinator Dewan Keamanan Nasional John Kirby mengatakan Amerika dan Iran kini semakin jauh dari kesepakatan, tetapi ia tetap percaya lebih baik kesepakatan nuklir Iran – yang dikenal sebagai JCPOA – dihidupkan kembali.
“…Amerika tetap berkomitmen untuk kembali ke JCPOA, menerapkannya lagi, karena sekali lagi, kami yakin kesepakatan itu berhasil sebelum pemerintahan sebelumnya menarik diri. Iran sekarang semakin dekat ke kemampuannya mendapatkan uranium yang diperkaya untuk membuat senjata nuklir, dibandingkan dengan ketika kesepakatan itu diberlakukan pada 2015,”imbuhnya.
Di Capitol Hill, anggota DPR fraksi Republik menentang upaya pemerintahan Biden agar kesepakatan itu diimplementasikan lagi. Kepada VOA melalui Zoom, Tim Burchett mengatakan, dia yakin Iran tidak akan melakukan kesepakatan itu dengan itikad baik.
“Mereka mengajukan beberapa tuntutan yang sangat tidak masuk akal dan tidak realistis. Mereka menginginkan manfaat ekonomi penuh dari kesepakatan 2015, dan mereka ingin mengakhiri penyelidikan PBB terhadap beberapa bahan nuklir yang tidak diumumkan di Iran,” imbuhnya.
Jika pakta nuklir Iran dihidupkan kembali, anggota DPR fraksi Republik dari Komisi Layanan Luar Negeri Michael McCaul mengatakan kepada VOA bahwa dia khawatir akan apa yang akan dilakukan Iran jika sanksi dilonggarkan.
“… yang saya khawatirkan adalah jika kita mencabut sanksi dan miliaran dolar masuk ke Iran, akan terulang apa yang kita alami sebelumnya. Uang itu mendanai operasi teror di Suriah dan Irak, di Lebanon; membantu Hamas dan juga membantu pemberontak Houthi di Yaman,” jelasnya.
Di Sidang Umum PBB, Menteri Luar Negeri Prancis Catherine Colonna meminta Iran menerima tawaran yang tersedia untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir. Ia memperingatkan bahwa negara itu tidak akan mendapat tawaran yang lebih baik. [ka/uh]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.