Iran, pada Selasa (20/9), menghadapi kecaman internasional karena kematian seorang perempuan yang ditangkap polisi moral. Kematian perempuan muda bernama Mahsa Amini itu telah memicu demonstrasi selama tiga hari, termasuk bentrokan dengan pasukan keamanan di ibu kota Teheran dan kerusuhan lain yang menewaskan sedikitnya tiga orang.
Kantor PBB Urusan Hak Asasi Manusia menyerukan penyelidikan atas kematian Amini.
Amerika Serikat, yang tengah berupaya menghidupkan kembali kesepakatan nuklir tahun 2015 dengan Iran, meminta pemerintah negara itu untuk mengakhiri “penganiayaan sistemik” terhadap kaum perempuan.
Italia juga menyampaikan kecaman keras atas kematian Amini.
Di sisi lain, para pejabat Iran menolak kritik yang dilontarkan oleh dunia internasional dan menyebutnya sebagai langkah bermuatan politik, dan menuduh negara-negara asing – yang tidak disebut namanya – mengobarkan kerusuhan.
Secara terpisah, seorang pejabat Iran mengatakan tiga orang tewas dibunuh kelompok bersenjata – yang juga tidak disebut namanya – di wilayah Kurdi, di mana demonstrasi tersebut berawal. Laporan tersebut merupakan konfirmasi pertama tentang kematian terkait demonstrasi dan kerusuhan pasca meninggalnya Amini.
Sementara kantor berita semi-resmi Iran, Fars, pada Senin (19/9) lalu, melaporkan kelompok-kelompok kecil demonstran kembali berkumpul di pusat kota Teheran, meneriakkan “matilah diktator!” Massa yang berjumlah sekitar 300 orang itu juga merusak rambu-rambu jalan.
Gubernur Teheran, Mohsen Mansouri, menuduh kedutaan-kedutaan asing telah memprovokasi demonstrasi itu, dan mengatakan tiga warga asing telah ditangkap. Ia tidak merinci kewarganegaraan dari ketiga orang yang ditangkap itu.
Polisi Moral Iran Intensifkan Patroli yang Menarget Perempuan
Kantor PBB Urusan Hak Asasi Manusia mengatakan dalam beberapa bulan terakhir ini, polisi moral Iran telah semakin memperluas patroli yang menarget perempuan yang tidak mengenakan jilbab dengan benar.
Lembaga tersebut menegaskan pihaknya telah memverifikasi beberapa video yang menunjukkan sejumlah perempuan ditampar, dipukul dengan pentungan dan dilempar ke mobil-mobil polisi karena mengenakan jilbab yang tidak sesuai aturan.
Patroli serupa menangkap Mahsa Amini, yang berusia 22 tahun, pada Selasa (13/9) lalu. Polisi lalu membawa Amini ke ke kantor polisi di mana ia akhirnya jatuh pingsan. Amini meninggal tiga hari kemudian. Polisi Iran membantah telah menganiaya Amini dan mengatakan bahwa ia meninggal karena serangan jantung. Pihak berwenang setempat menggarisbawahi penyelidikan yang sedang dilakukan terhadap insiden itu.
Penjabat Komisioner Tinggi PBB Untuk Hak Asasi Manusia Nada Al-Nashif mengatakan “kematian tragis Mahsa Amini dan dugaan penyiksaan serta perlakuan tidak menyenangkan lainnya harus segera diselidiki oleh otoritas independen yang kompeten, tidak memihak dan efektif.”
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken mengatakan Amini “seharusnya masih hidup pada hari ini.”
“Namun sebaliknya warga Amerika dan Iran berduka untuknya. Kami menyerukan kepada pemerintah Iran untuk mengakhiri penganiayaan sistemik terhadap perempuan dan mengizinkan berlangsungnya demonstrasi damai,” cuit Blinken.
Kementerian Luar Negeri Italia menyerukan adanya pertanggungjawaban dari “pelaku tindakan pengecut itu,” dengan mengatakan “kekerasan terhadap orang yang tidak bersalah, terutama perempuan dan anak perempuan, tidak boleh ditoleransi.”
Menanggapi sejumlah kecaman yang datang itu, Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amirabdollahian menolak kritik tersebut dengan mengatakan “Amerika Serikat menitikkan air mata buaya.”
“Investigasi telah diperintahkan untuk menyelidiki kematian tragis Amini, yang seperti dikatakan presiden (kami) – seperti putri kami sendiri. Bagi Iran, hak asasi manusia memiliki nilai yang melekat, tidak seperti mereka yang melihatnya sebagai alat untuk melawan musuh.” [em/jm]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.