Dalam pembukaan konferensi tingkat tinggi (KTT) Parlemen G20 yang berlangsung di kompleks MPR/DPR di Senayan, Jakarta, pada Rabu (5/10), Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani menyebut pertemuan parlemen negara-negara anggota G20 ini sebagai bagian dari kontribusi untuk pemulihan global secara sosial dan ekonomi setelah pandemi COVID-19; dan Indonesia, tegasnya, siap berkolaborasi untuk membangun dunia yang lebih baik.
Menurutnya saat ini dunia masih memiliki sejumlah agenda global dalam menuntaskan pembangunan berkelanjutan, antara lain yang berkaitan dengan perubahan iklim, lingkungan hidup, ekonomi hijau, ketahanan pangan dan energi, serta kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. KTT Parlemen G20, tambahnya, juga memberi perhatian pada respon dunia terhadap perubahan iklim global.
“Dampak perubahan iklim telah dirasakan semakin mengemuka. Cuaca ekstrem, kekeringan, banjir, bencana alam terus terjadi silih berganti dan semakin sering terjadi. Pemanasan global telah mencapai 1,1 derajat Celcius. Karenanya, kita harus memiliki sense of urgency,” kata Puan.
Puan mengatakan sekarang adalah waktu bagi dunia untuk mengambil tindakan guna menurunkan emisi global, mempercepat transisi menuju energi terbarukan, mengimplementasikan bantuan keuangan dan alih teknologi kepada negara berkembang.
Puan menekankan dunia perlu membangun mitigasi perubahan iklim yang berpusat pada manusia, dimulai dari membangun kesadaran dan komitmen untuk menjaga kelestarian dan daya dukung alam serta lingkungan hidup; serta membangun ekosistem industri dan perekonomian yang ramah terhadap lingkungan hidup.
DPR RI telah mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang energi terbarukan. DPR juga akan menggunakan pembangkit listrik tenaga surya untuk 25 persen kebutuhan listrik di gedung MPR/DPR.
Wakil Rusia Sampaikan Perlakuan Tak Adil Terhadap Negaranya
Dalam kesempatan itu senator dari Rusia, Konstantin Kosachev, menegaskan pemerintah Rusia sangat meyakini betapa pentingnya multilateralisme dalam menghadapi perubahan iklim global.
Menurutnya hal ini penting agar tidak terjadi persaingan yang tidak seimbang dan menyebabkan kesenjangan antara negara-negara maju dengan negara berkembang. Ia mencontohkan sertifikasi internasional tentang hutan. Rusia merupakan negara pertama di dunia sejak 2010 yang melakukan sertifikasi hutan internasional, dan menjadikan Rusia sebagai negara dengan hutan terluas di dunia yang sudah mendapat sertifikat internasional.
“Tapi karena ada sanksi dan tekanan terhadap Rusia dan Belarusia, sekarang sistem sertifikasi hutan internasional telah mengeluarkan Rusia dan Belarusia. Saya yakin ini merupakan langkah yang sepenuhnya keliru,” ujar Kosachev.
Aktivis Lingkungan Kritisi Negara Maju yang Kirim Sampah Plastik ke Indonesia
Sementara itu Aeshnina Azzahra Aqilani, aktivis lingkungan muda dari Gresik, mendesak negara-negara Barat untuk tidak mengirim sampah plastik ke Indonesia. Dia menjelaskan Bumi menghadapi tiga krisis, yakni perubahan iklim global, hancurnya keragaman hayati, dan polusi sampah.
Ia menggambarkan bagaimana polusi sampah dalam jumlah sangat besar ditemukan di sepanjang aliran sungai, seperti di Sungai Ciliwung (Jakarta), Sungai Berantas (Jawa Timur), dan Sungai Bengawan Solo (Jawa Tengah).
Aeshnina bercerita ayah dan pamannya saat ini sedang melakukan tur keliling Indonesia bertajuk “Ekspedisi Sungai Nusantara.” Dengan mengendarai sepeda motor, keduanya mengidentifikasi sampah plastik ada di sungai-sungai, mulai Sumatera hingga Papua.
Ayah dan pamannya, lanjutnya, menjelaskan kepadanya bahwa hampir semua sungai di Indonesia menjadi tempat pembuangan sampah. Dia juga sering melihat orang-orang membakar sampah di halaman rumah mereka di dekat pabrik kertas dan tempat pembuangan akhir sampah.
Ketika diperhatikan, menurut Aeshnina, kebanyakan sampah-sampah plastik itu berasal dari luar negeri, seperti Eropa, Jepang, Amerika Serikat, dan Australia. Dia mengaku heran kenapa negara-negara kaya itu membuang sampah plastiknya ke Indonesia.
Remaja dari Gresik ini yakin negara-negara maju itu memiliki sistem manajemen sampah dan daur ulang yang lebih baik ketimbang Indonesia. Karena itulah, sejak 2019 dia menyurati kepala negara/kepala pemerintahan Amerika, Jerman, Australia, Belanda, dan Kanada.
“Saya minta kepada mereka untuk menghentikan pengiriman sampah plastik ke Indonesia dan untuk mendaur ulang sampah-sampah plastik tersebut di negara mereka sendiri. (Saya minta) juga negara-negara itu untuk berhenti membuat polusi di masyarakat dan lingkungan kami,” ujar Aeshnina.
Aeshnina mengatakan pada 2 Maret lalu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan resolusi untuk menghentikan sampah plastik, yang langsung disetujui 175 negara.
Dia juga meminta semua negara membuat regulasi yang ketat untuk mengurangi sampah plastik dan menuntut negara-negara maju tidak membuang sampah plastik mereka ke negara-negara berkembang. [fw/em]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.