Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada Juni 2022 mencapai 4,35 persen secara tahunan atau 0,61 persen jika dibandingkan bulan sebelumnya.
Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan inflasi pada Juni 2022 yang mencapai 4,35 persen secara tahunan merupakan inflasi yang tertinggi sejak Juni 2017 yang saat itu sebesar 4,37 persen. Inflasi pada Juni 2022, terjadi di 85 dari 90 kota yang disurvei BPS. Sedangkan lima kota lainnya mengalami deflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Gunungsitoli yakni 2,72 persen dan terendah terjadi di Pontianak 0,07 persen.
“Kalau dilihat dari penyumbang inflasinya di bulan Juni 2022 berasal dari komoditas cabe merah, cabe rawit, bawang merah dan telur ayam ras,” jelas Margo Yuwono dalam konferensi pers daring, Jumat (1/7/2022).
Sementara jika dilihat dari kelompok pengeluaran, makanan, minuman, dan tembakau menjadi penyumbang inflasi terbesar yakni 8,26 persen secara tahunan. Disusul kemudian pakaian dan alas kaki 1,38 persen dan kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga sebesar 2,14 persen.
Margo menilai rencana pemerintah yang akan menaikkan tarif listrik akan berpotensi memicu inflasi pada Juli 2022. Kendati, ia tidak menjelaskan perkiraan besaran inflasi pada bulan depan.
“Besarnya inflasi pada Juli mendatang akan kita lihat rilis bulan depan,” tambahnya.
Ia menjelaskan kenaikan harga sejumlah komoditas impor di tingkat global belum berdampak secara signifikan terhadap informasi di dalam negeri. Ini terlihat dari komoditas tepung terigu, gula pasir, dan tempe yang memiliki andil kurang dari 0,5 persen terhadap inflasi secara tahunan.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai kenaikan inflasi yang tinggi pada Juni 2022 bersifat tidak normal. Ia beralasan inflasi setelah Lebaran biasanya menurun akibat normalisasi harga pangan.
“Inflasi yang tidak wajar pertanda adanya sinyal stagflasi yakni kondisi kenaikan inflasi tidak dibarengi dengan naiknya kesempatan kerja,” jelas Bhima kepada VOA, Jumat (1/7/2022).
Ia menuturkan terdapat 11,5 juta orang tenaga kerja yang terdampak pandemi, mulai dari pemutusan hubungan kerja dan pengurangan jam kerja yang masih berlangsung hingga kini. Dengan kondisi ini, Bhima memperkirakan tekanan inflasi akan terus berlanjut dalam beberapa bulan ke depan dan inflasi hingga akhir tahun bisa mencapai 4,5 persen hingga 5 persen secara tahunan.
“Risiko terbesar adalah imported inflation yakni pelemahan kurs yang membuat harga berbagai barang di dalam negeri meningkat,” tambahnya.
Bhima berpendapat pemerintah perlu lebih serius dalam penanganan pangan. Pemerintah, menurutnya, harus menambah alokasi subsidi pupuk, karena biaya produksi pangan naik akibat harga pupuk mahal. Pemerintah juga, katanya, perlu memangkas rantai distribusi yang terlalu panjang. Sebab kenaikan harga pangan tidak menguntungkan petani, melainkan pedagang besar atau spekulan.
Selain itu, kata Bhima, pemerintah masih perlu melanjutkan jaring pengaman sosial khususnya bantuan selama pandemi untuk melindungi 40 persen kelompok paling bawah. Termasuk di antaranya dengan menaikkan serapan tenaga kerja di sektor industri manufaktur dan UMKM.
Adapun soal energi, ia menyarankan pemerintah agar menahan terlebih dahulu pembatasan subsidi BBM, LPG 3 kilogram, dan tarif listrik. Apalagi, kata dia, APBN masih surplus Rp132 triliun per Mei 2022. [sm/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.