Dana Moneter Internasional (IMF) menurunkan prospeknya akan perekonomian dunia tahun 2023 sambil menyebutkan sederet ancaman termasuk perang Rusia dan Ukraina, tekanan inflasi kronis, suku bunga yang buruk dan konsekuensi pandemi COVID-19 yang masih tersisa.
Badan pemberi pinjaman beranggotakan 190 negara itu memperkirakan pada hari Selasa (11/10) bahwa perekonomian dunia hanya akan tumbuh 2,7% tahun depan, turun dari perkiraaan Juli lalu sebesar 2,9%.
Sementara perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun ini tidak direvisi, masih pada angka 3,2% – turun tajam dari angka pertumbuhan tahun lalu sebesar 6%.
“Skenario terburuk baru akan terjadi,” kata kepala ekonomi IMF Pierre-Olivier Gourinchas.
Tiga ekonomi besar – AS, China dan Eropa – melambat. Negara-negara yang mewakili sepertiga ekonomi dunia itu akan terkontraksi tahun depan, sehingga tahun 2023 “akan terasa seperti resesi” bagi banyak orang di seluruh dunia, katanya hari Selasa (11/10).
Dalam perkiraan terakhirnya, IMF memangkas prospek pertumbuhan AS menjadi 1,6% tahun ini, turun dari prediksi di bulan Juli sebesar 2,3%.
IMF memperkirakan AS hanya akan tumbuh pada angka satu koma tahun depan.
Badan itu memperkirakan ekonomi China hanya akan tumbuh 3,2% tahun ini, turun drastis dari angka pertumbuhan tahun lalu sebesar 8,1%. Beijing telah menerapkan kebijakan nol-COVID yang kejam dan menindak pinjaman real estat yang berlebihan sehingga mengganggu aktivitas bisnis negara itu.
Pertumbuhan ekonomi China diperkirakan akan meningkat menjadi 4,4% tahun depan – tergolong rendah untuk standar China.
Dalam pandangan IMF, ekonomi blok beranggotakan 19 negara Uni Eropa, yang menggunakan mata uang euro dan terseok-seok akibat harga energi yang meroket akibat serangan Rusia ke Ukraina dan sanksi yang dijatuhkan Barat kepada Moskow, hanya akan tumbuh 0.5% tahun depan.
Perekonomian dunia terombang-ambing sejak pandemi COVID-19 menghantam seluruh dunia pada awal 2020.
Pertama, pandemi dan lockdown yang diakibatkannya menyebabkan perekonomian dunia terhenti pada musim semi 2020.
Kemudian, pemasukan besar dari pengeluaran pemerintah dan suku bunga pinjaman yang sangat rendah, yang direkayasa oleh Bank Sentral AS dan bank-bank sentral lainnya, berhasil memulihkan resesi pandemi dengan kuat dan cepat.
Namun demikian, stimulus alias bantuan keuangan dari pemerintah bagi masyarakat memakan banyak anggaran.
Pabrik-pabrik, pelabuhan hingga galangan kargo kewalahan oleh permintaan konsumen akan berbagai barang manufaktur, terutama di AS, menyebabkan penundaan, kekurangan pasokan hingga harga yang melambung. IMF memperkirakan harga-harga barang konsumen di seluruh dunia naik 8,8% tahun ini, naik dari 4,7% pada 2021.
Untuk mengatasinya, Bank Sentral AS, alias The Fed, dan bank-bank sentral lainnya berputar arah dan mulai meningkatkan suku bunga secara drastis, mempertaruhkan perlambatan tajam dan potensi resesi.
The Fed telah menaikkan suku bunga acuan jangka pendek lima kali tahun ini. Suku bunga yang lebih tinggi di AS telah membuat investor menarik investasi mereka dari negara lain dan memperkuat nilai dolar terhadap mata uang lainnya. [rd/jm]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.