Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan saat ini 176 kepala daerah sedang tersandung masalah hukum. Yang saat ini sedang ramai diperbincangkan masyarakat adalah Gubernur Papua, Lukas Enembe.
Di balik dugaan gratifikasi Rp1 milliar yang disangkakan KPK, ternyata turut ditemukan aliran dana tak wajar yang mencapai setengah trilliun rupiah. Meski saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka, hingga kini gubernur Papua itu belum pernah memenuhi panggilan pemeriksaan. KPK telah dua kali mengirim surat pemanggilan.
Menurut Alosius Renwarin, tim hukum Gubernur Papua Lukas Enembe, kliennya saat ini tidak dapat memenuhi panggilan KPK karena sedang sakit.
Menanggapi hal itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, Kamis (22/9), mengatakan untuk memastikan ojektivitas keterangan tersebut, KPK dapat meminta second opinion dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Jika dilakukan, hal seperti itu bukanlah pertama kali dilakukan KPK karena sebelumnya lembaga anti rasuah itu juga pernah meminta bantuan IDI saat menangani perkara korupsi KTP-elektronik dengan tersangka mantan Ketua DPR Setya Novanto. Kala itu terbukti bahwa alasan sakit yang diutarakan Setya terlalu mengada-ngada.
“Kalau memang yang bersangkutan sedang dalam kondisi yang tidak fit sehingga tidak dapat mengikuti berjalannya proses penegakan hukum, ICW mendorong agar KPK meminta second opinion dari Ikatan Dokter Indonesia untuk mengobjektifkan argumentasi yang disampaikan oleh kuasa hukum saudara Lukas Enembe,” ujar Kurnia Ramadhana.
Apabila gubernur Papua itu benar sakit, kata Kurnia, itupun tidak bisa menghentikan langkah KPK menyidik perkara tersebut karena berdasarkan peraturan perundang-undangan, KPK diperkenankan menerapkan pembantaran terhadap Lukas hingga yang bersangkutan dianggap layak diperhadapkan dengan proses hukum.
“Saudara Lukas itu kan sekarang masih menjabat sebagai gubernur Papu, seorang kepala daerah mestinya memberikan contoh yang baik kepada masyarakat terkait dengan proses penegakan hukum,” kata Lukas.
Menurut Kurnia Ramadhana, penanganan perkara yang diduga melibatkan Lukas harus menitikberatkan pada pengembalian aset hasil kejahatan.
Dia merujuk pada pernyataan pimpinan KPK, Alexander Marwata, Menkopolhukam dan PPATK, bahwa Lukas diduga terlibat dalam dua kejatan sekaligus diantaranya tindak pidana korupsi berupa gratifikasi dan pencucian uang. Dua delik ini, lanjutnya, terbilang mudah secara pembuktiannya. Jika nanti Lukas tidak bisa membuktikan penerimaan itu didapatkan dari hal yang wajar maka aparat penegak hukum melalui putusan pengadilan dapat langsung merampas aset-aset tersebut.
PPATK Temukan Setoran Tunai ke Kasino
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan adanya setoran tunai Gubernur Papua Lukas Enembe ke kasino judi dengan nilai US$55 juta atau setara Rp560 milliar. Jumlah itu merupakan akumulasi dari uang yang diduga pernah disetor Lukas ke kasino.
Menurut Ketua PPATK Ivan Yustiavandana, lembaganya juga pernah menemukan dalam satu kali transaksi, Lukas diduga menyetor hingga US$5 juta.
Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto menyatakan lembaganya akan memeriksa seorang penghubung Gubernur Papua Lukas Enembe di Singapura yang diduga terkait dengan tindak pidana pencucian uang.
Dia menyatakan pihaknya telah mengantongi nama penghubung Lukas Enembe tersebut. Jika penghubung itu warga negara Singapura, KPK akan melakukan kerja sama antar-negara untuk melakukan pemeriksaan. Karyoto juga mengatakan KPK juga akan menemui Corrupt Practice Investigation Bureau Singapura.
“Salah satu orang yang terkait, penghubung di Singapura sudah ada . Tinggal kita upayakan untuk pemeriksaan atau pemanggilan. Kalau dia warga negara Singapura pasti aka nada proses-proses kerjasama antar negara untuk bisa menghadirkan yang bersangkutan sebagai saksi, apakah orang ini terlibat aktif atau pasif dalam hal membantu tersangka dalam hal menyembunyikan atau menyamarkan hasil kejahatan,” ungkap Karyoto.
Terkait permintaaan second opinion dari IDI, KPK masih mempertimbangkannya. [fw/em]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.