Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki Sukoharjo hari Rabu (17/8) untuk pertama kalinya melangsungkan upacara pengibaran bendera merah putih, bagian dari perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke 77. Langkah ini diharapkan akan menghapus stigma pondok pesantren itu sebagai pusat penyebaran paham radikal atau anti-NKRI.
Pengasuh Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki Sukoharjo yang juga mantan narapidana kasus terorisme, Abu Bakar Baasyir, Rabu pagi mengikuti upacara pengibaran bendera untuk merayakan Hari Kemerdekaan ke 77 Republik Indonesia di lingkungan pondok pesantren itu.
Namun berbeda dengan tamu yang hadir, yang berdiri dan memberi hormat ketika bendera dinaikkan ke puncak tiang, Baasyir tetap duduk.
Ditemui seusai upacara itu, Baasyir mengatakan “baru pertama kali ini ikut pengibaran bendera.” “Selama ini belum pernah ikut, bahkan sejak ponpes ini berdiri. Upacara bendera 17 Agustus kan bentuk rasa syukur mendapat nikmat dari Allah SWT berupa kemerdekaan,” ujarnya.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, yang menjadi inspektur upacara itu menggarisbawahi perlunya keseimbangan antara menguasai ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama.
“Kami bersyukur bisa menggelar upacara bendera HUT ke 77 kemerdekaan Indonesia di pondok pesantren ini. Kami berharap ponpes ini tetap mengedepankan ke-Indonesiaan dan keislaman. Ada perimbangan antara pengetahuan umum dan ilmu agama. Pemgetahuan umumnya luas, ilmu agama dan karakter para santri juga kuat,” ujarnya.
Sekitar 600 santri ponpes Al Mukmin Ngruki mengikuti upacara dengan lancar dan khidmat. Santri yang bertugas baris-berbaris dan mengibarkan bendera, telah berlatih serius selama sepekan penuh.
Ditemui VOA sehari sebelumnya, Direktur Ponpes Al-Mukmin, Yahya Abdur Rahman mengatakan upacara bendera yang digelar secara akbar ini bentuk upaya memupus stigma ponpes. “Kita buktikan kepada dunia luar bahwa Pondok pesantren Al mukmin Ngruki bukan anti NKRI,” tegasnya.
Terus Berbenah
Pondok pesantren Al Mukmin Ngruki terus melakukan pembenahan. Selama ini pondok yang didirikan Abu Bakar Baasyir bersama lima tokoh lainnya, yaitu Abdullah Sungkar dari Jawa Timur, KH Hasan Basri-dari Banjarmasin, Abdul Kohar dari Sulawesii, Yoyok Roswadi dari Tasikmalaya, dan Abdullah Baraja dari Solo, senantiasa menjadi sorotan karena dinilai menyebarluaskan paham radikal. Dari keenam tokoh utama pendiri pondok pesantren itu hanya Abu Bakar Baasyir yang masih hidup.
Salah seorang santri pondok pesantren itu yang berasal dari Palembang, Syamil Jihadi, mengatakan materi pelajaran yang diberikan sebenarnya tidak jauh beda dengan pondok pesantren atau sekolah lain. Namun dengan jujur ia mengatakan baru tahun ini ia merasakan suasana perayaan Hari Kemerdekaan dengan upacara pengibaran bendera di dalam kompleks pendidikan itu.
“Selama saya di ponpes ini. Baru kali ini ada upacara bendera. Kalau pelajaran di sini sama seperti pondok pesantren atau sekolah lain. Kami diajari pelajaran IPA atau pengetahuan umum lain. Kami diajari ilmu agama Islam. Kami dituntut bisa berbahasa Arab. Ini yang membedakan,” ujarnya. [ys/em]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.