Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menuju Uzbekistan hari Kamis (15/9) untuk menghadiri pertemuan kelompok keamanan Eurasia, Organisasi Kerja Sama Shanghai. Erdogan menghadiri pertemuan itu atas undangan Presiden Rusia Vladimir Putin. Pertemuan itu dilakukan ketika hubungan Erdogan dan Putin tengah menjadi sorotan tajam negara-negara sekutu Turki di Barat yang berusaha memperketat sanksi terhadap Rusia.
Loyalitas Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan kemungkinan akan menghadapi sorotan luas negara-negara sekutunya di Barat ketika ia menghadiri pertemuan Organisasi Kerja Sama Shanghai pada hari Jumat (16/9) di Uzbekistan.
Kelompok keamanan Eurasia yang dipimpin Rusia dan Tiongkok itu disebut beberapa pengkritik sebagai aliansi anti-Barat.
Kehadiran Erdogan dan jadwal pertemuannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, yang ketiga kalinya dalam beberapa bulan terakhir, akan memicu pertanyaan tentang loyalitas Turki terhadap Barat, kata Asli Aydintasbas, peneliti tamu lembaga think tank Brookings Institution.
“Erdogan suka melakukan langkah penyeimbangan seperti ini dan ia punya tujuan tertentu. Ia ingin memberi sinyal kepada Barat bahwa ia memiliki pilihan lain. Turki semakin dekat dengan Rusia, khususnya secara ekonomi, bahkan agak bergantung pada Rusia. Bukan saja tidak bergabung dengan negara-negara Barat dalam menjatuhkan sanksi, Ankara juga terus menjalin perdagangan dengan Rusia dan menerima pendanaan dari Rusia,” komentarnya.
Beberapa pengamat mengatakan perdagangan dengan Rusia menjadi semakin penting bagi perekonomian Turki yang sedang dilanda krisis, yang terbukti penting bagi Erdogan yang akan menghadapi pemilu tahun depan sebagai calon petahana.
Pertemuan Putin dan Erdogan hari Jumat diperkirakan akan fokus membahas isu perdagangan.
Maria Shagina dari International Institute for Strategic Studies mengatakan, seiring upaya negara-negara Barat untuk memperketat sanksi bagi Moskow, Erdogan juga menjadi semakin penting bagi Putin.
“Rusia semakin kehabisan teman di sini. Ia punya China dan India ke mana ia dapat berporos. Akan tetapi, ruang untuk bermanuver, di mana Beijing dan New Delhi mungkin rela menghadapi sanksi sekunder, tidak ada. Jadi penting bagi Moskow untuk punya teman lain yang membutuhkan, dan Turki, tidak seperti China, sebenarnya lebih rentan terhadap risiko,”jelasnya.
Bulan lalu Erdogan menyerukan pelonggaran beberapa sanksi terhadap Rusia. Namun Ankara menegaskan pihaknya tidak melanggar sanksi internasional AS dan mengambil pendekatan yang berimbang terhadap Rusia dan Ukraina, di mana perusahaan persenjataannya terus memasok Kyiv.
Sikap Erdogan terhadap Rusia diperkirakan akan menjadi agenda pertemuan utama apabila Erdogan bertemu dengan Presiden AS Joe Biden di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB di New York. Namun Aydintasbas meyakini Biden sendiri menghadapi dilema soal Turki.
“Washington juga melakukan langkah penyeimbangan tersendiri saat menghadapi Erdogan. Mereka tidak senang dengan kenyataan bahwa Turki tidak ikut menjatuhkan sanksi terhadap Rusia dengan negara-negara Barat. Di sisi lain, mereka tidak ingin mendorong Turki semakin dekat dengan Rusia. Jadi, mereka menahan diri untuk tidak berbicara,” katanya.
Dengan perkiraan semakin diperketatnya sanksi Uni Eropa dan AS terhadap Rusia, para pengamat memperingatkan bahwa langkah penyeimbangan Turki terhadap Rusia bisa menjadi semakin sulit untuk dipertahankan. [rd/jm]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.