Empat daerah di bagian timur dan selatan Ukraina yang telah dikuasai Rusia, pada Selasa (20/9), mengumumkan kesiapan mereka untuk melangsungkan pemungutan suara pada pekan ini untuk menjadi bagian integral dari Rusia.
Upaya yang telah dirancang dan dipercepat oleh Kremlin terhadap keempat daerah itu akan menjadi panggung bagi Rusia untuk meningkatkan perang pasca keberhasilan yang ditorehkan oleh pasukan Ukraina di medan perang dalam beberapa minggu terakhir.
Referendum itu dijadwalkan berlangsung mulai Jumat (23/9) di Luhansk, Kherson, sebagian wilayah Zaporizhzhia dan Donetsk yang telah dikuasai Rusia. Referendum tersebut terjadi setelah sekutu dekat Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan langkah itu perlu diambil seiring kekalahan pasukan Rusia dalam invasi yang dimulai pada 24 Februari lalu.
Mantan Presiden Dmitry Medvedev yang kini menjadi Wakil Kepala Dewan Keamanan Rusia – yang dikepalai Putin – mengatakan referendum tersebut membuat Rusia perlu menggambar ulang wilayah perbatasannya “yang tidak dapat diubah” dan memungkinkan negara tersebut “menggunakan cara apapun” untuk mempertahankannya.
Referendum di wilayah yang sudah dikuasai Rusia tentunya akan memilih untuk bergabung dengan negeri Beruang Merah itu.
Pemimpin Barat Nilai Referendum Tidak Sah
Pemimpin-pemimpin Barat yang mendukung Kyiv dengan militer dan sejumlah bentuk dukungan yang lain untuk membantu pasukan Ukraina merebut momentum di medan perang di wilayah timur dan selatan, telah menggambarkan referendum tersebut sebagai hal yang tidak sah.
Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba mengecam rencana referendum itu sebagai tipuan, dan mencuit “Ukraina berhak membebaskan wilayahnya dan akan terus membebaskan mereka dari apapun yang dikatakan Rusia.”
Penasehat Keamanan Nasional Amerika Serikat Jake Sullivan juga mengecam rencana referendum itu dengan mengatakan “kami tidak akan pernah mengakui wilayah ini sebagai apapun, selain bagian dari Ukraina.” Ia menambahkan bahwa referendum tersebut mencerminkan kemunduran Rusia di medan perang. “Ini bukan tindakan negara yang percaya diri. Ini bukanlah sebuah unjuk kekuatan.”
Di New York, Kanselir Jerman Olaf Scholz yang sedang menghadiri sidang Majelis Umum PBB mengatakan “sangat jelas refendum palsu ini tidak dapat diterima.”
Sementara itu, Presiden Prancis Emmanuel Macron menyebut rencana referendum tersebut merupakan sebuah “lelucon.”
“Rusia menyatakan perang… dan sekarang mengatakan bahwa di wilayah yang sama akan dilangsungkan referendum. Jika ini tidak tragis, mungkin lucu,” ujarnya seraya menambahkan bahwa pemungutan suara itu “tidak memiliki konsekuensi hukum.” [em/jm]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.