Apa ya yang dimakan para astronaut di luar angkasa?
Itu yang ingin diketahui seorang siswa asal Ethiopia pekan lalu ketika ia dan pemuda-pemudi dari delapan negara di Afrika ikut serta dalam dialog dengan para astronaut China yang tengah bertugas di orbit Bumi.
Acara melalui sambungan video tersebut diselenggarakan oleh misi China untuk Uni Afrika. Berikut jawaban salah seorang astronaut China, Cai Xuzhe, atas pertanyaan tentang makanan tadi, yang disiarkan media pemerintah China CGTN.
“Tim kami di darat telah menyiapkan lebih dari 1.000 jenis makanan. Lihat, kami punya bubur beras ungu yang enak, tumis jagung manis yang lezat, tumis daging sapi dadu saus lada hitam, juga nasi,” kata Cai.
Acara itu menjadi ajang unjuk kekuatan diplomasi China sekaligus pertanda bahwa negara itu menganggap penting peran yang dapat dimainkan Afrika dalam persaingan luar angkasa dunia, kata para pengamat.
Temidayo Oniosun, ilmuwan antariksa asal Nigeria sekaligus direktur pelaksana situs web ‘Space in Africa,’ mengatakan kepada VOA bahwa nilai ekonomi luar angkasa Afrika pada tahun 2021 mencapai $19,49 miliar (sekitar Rp296 triliun) dan diperkirakan akan tumbuh sekitar 16% selama empat tahun ke depan.
“Industri antariksa di Afrika tumbuh pesat, sehingga negara-negara dan kawasan seperti China, Eropa, Rusia dan AS mulai bersaing untuk mendapat bagian dalam industri ini,” ujar Oniosun.
Meski demikian, hingga tahun ini saja, baru ada 13 negara Afrika yang memiliki 48 satelit, di mana enam di antaranya buatan China.
China meluncurkan satelit komunikasi Nigeria pertama pada tahun 2007 dan yang kedua empat tahun kemudian. China juga meluncurkan satelit komunikasi Aljazair pertama tahun 2017 serta satelit pertama Ethiopia dan Sudan tahun 2019. Pada 2018, pakar menyebut Tunisia sebagai lokasi stasiun penerima di darat pertama yang dibangun di luar China untuk Sistem Navigasi Satelit BeiDou milik negeri tirai bambu.
Antariksa mungkin lebih abstrak daripada proyek infrastruktur Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative) China di seluruh Afrika. Akan tetapi, proyek-proyek itu mungkin menjadi sebuah motivasi bagi China yang tertarik pada program luar angkasa negara-negara Afrika, kata pengamat.
“Semua kegiatan ini belum tentu karena China dan pihak lainnya ingin membantu Afrika. Mereka melakukannya karena mereka memperoleh modal ekonomi, sosial dan budaya sebagai balasannya,” tambah Oniosun.
Julie Klinger, yang telah meneliti hubungan luar angkasa China-Afrika, menyebutkan dalam penelitiannya tahun 2020 bahwa “membangun jaringan satelit penginderaan jauh” di Afrika memungkinkan China untuk “mendukung integrasi logistik negara-negara mitra [Prakarsa] Sabuk dan Jalan.”
Klinger, yang mengajar di University of Delaware, memberitahu VOA bahwa program antariksa China telah bersifat semakin internasional sejak permulaan proyek infrastruktur global yang digagas Presiden Xi Jinping, Prakarsa Sabuk dan Jalan.
Di sisi lain, alasan negara-negara di Afrika menyambut hangat kemitraan China beragam, kata Klinger, karena setiap negara memiliki prioritas masing-masing. Mereka tidak memprioritaskan teknologi antariksa untuk kegunaan militer atau penerbangan antariksa bagi manusia. Yang mereka inginkan adalah perkembangan teknologi komunikasi dan bidang sosial-ekonomi.
“Aspek penting lain dalam kerja sama luar angkasa China-Afrika berhubungan dengan perubahan iklim, pemantauan lingkungan dan manajemen bencana,” jelasnya.
Klinger mengatakan, acara-acara seperti dialog para siswa dengan astronaut itu menumbuhkan ketertarikan generasi muda Afrika terhadap dunia antariksa dan menentang gagasan bahwa dunia antariksa adalah hal yang mewah bagi Afrika. [rd/jm]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.