Dua warga Hong Kong, Kamis (27/10) dinyatakan bersalah atas tuduhan penghasutan setelah mereka bertepuk tangan dan mengkritik hakim selama persidangan sebelumnya terkait larangan memperingati peristiwa Tiananmen di kota itu.
Garry Pang Moon-yuen, seorang pendeta, dan Chiu Mei-ying, seorang ibu rumah tangga, ditangkap pada April lalu karena gangguan yang mereka lakukan dalam persidangan di pengadilan Januari lalu. Ketika itu, seorang pemimpin kelompok yang menyelenggarakan acara peringatan tersebut dijatuhi hukuman karena menghasut orang lain untuk bergabung dalam acara terlarang itu pada tahun lalu.
Hong Kong menghadapi tindakan keras politik setelah protes luas pada tahun 2019 dan diberlakukannya UU keamanan nasional menyeluruh pada 2020, dengan banyak aktivis terkemuka di kubu prodemokrasi ditangkap atau dipenjarakan.
Selain UU keamanan nasional, pembangkang yang jumlahnya kian besar telah didakwa melakukan pelanggaran penghasutan berdasarkan UU era kolonial.
Pang dan Chiu, bukannya didakwa menghina pengadilan, malah didakwa karena mengucapkan kata-kata menghasut. Pang dilaporkan mengatakan kepada hakim “Anda telah kehilangan hati nurani Anda.” Sementara itu Chiu kabarnya menuduh hakim tidak mematuhi UU dan memutuskan kasus secara sewenang-wenang.
Hakim Cheng Lim-chi memvonis bersalah pasangan ini terkait niat mereka untuk menghasut orang lain agar membenci dan menghina proses hukum, dan mengatakan komentar mereka “jelas bukan salah omong.”
Pang juga dinyatakan bersalah atas dakwaan tambahan yakni bertindak dengan niat menghasut karena video-video YouTube yang ia publikasikan antara 2020 dan tahun ini. Dalam video tersebut, ia mengkritik bagaimana para hakim menangani kasus-kasus lainnya.
Penghasutan diancam dengan hukuman maksimal dua tahun penjara untuk pelanggaran pertama dan tiga tahun untuk pelanggaran berikutnya.
Selama puluhan tahun, Hong Kong dan Makau di dekatnya adalah tempat-tempat di China yang diperbolehkan memperingati penindakan dengan kekerasan oleh tentara terhadap mahasiswa yang berunjuk rasa menuntut demokrasi yang lebih luas di Lapangan Tiananmen Beijing pada 4 Juni 1989. Ratusan, jika bukan ribuan, tewas dalam peristiwa itu.
Pada Juni lalu, pihak berwenang melarang peringatan itu untuk tahun ketiga berturut-turut, yang dianggap sebagai bagian dari langkah untuk memadamkan pembangkangan politik dan tanda bahwa Hong Kong kehilangan kebebasannya karena Beijing memperketat cengkeramannya terhadap kota semiotonom China itu.
Hari Rabu (26/10), posisi Hong Kong turun tiga tingkat menjadi peringkat 22 dunia dalam Indeks Supremasi Hukum terbaru yang disusun oleh World Justice Project.
Seorang juru bicara pemerintah Hong Kong Rabu mengatakan peringkat kota itu masih lebih baik daripada beberapa negara Barat, yang menurutnya mengkritik “secara tidak masuk akal” supremasi hukum di Hong Kong. [uh/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.