Asal-usul Sinterklas, dari Kebudayaan Belanda hingga Kemunculan di Indonesia

Asal-usul Sinterklas, dari Kebudayaan Belanda hingga Kemunculan di Indonesia

tribunwarta.com – Dalam perayaan Natal di seluruh dunia seringkali diwarnai dan dimeriahkan dengan kehadiran sesosok laki-laki dengan rambut panjang dan janggut putih yang seringkali dinantikan kehadirannya oleh para anak kecil. Di Indonesia kita mengenalnya sebagai Sinterklas .

Namun, Sinterklas merupakan budaya yang berasal dari Belanda, yang kemudian diadopsi oleh negara lain, salah satunya oleh Amerika Serikat dengan Santa Claus-nya.

Di Belanda, Sinterklas pada awalnya tidak dilaksanakan pada hari Natal, melainkan pada 6 Desember setiap tahunnya dalam rangka kelahiran Santa Nicholas yang merupakan pelindung anak-anak.

Sosok Sinterklas didasarkan pada Santa Nicholas yang juga merupakan seorang uskup. Ia digambarkan sebagai seorang kakek dengan rambut dan janggut panjang berwarna putih, mengenakan jubah merah dengan berbagai pernak-perniknya.

Berbeda dengan Santa Claus yang merupakan budaya Amerika, Sinterklas datang dengan menggunakan kuda. Ia juga membawa sebuah buku besar berwarna merah yang isinya merupakan daftar perilaku anak kecil satu tahun ke belakang.

Di Belanda, Sinterklas biasanya didampingi seorang asistennya. Laksana Batman dan Robin, dia didampingi Piet Hitam (Zwarte Piet) dalam melaksanakan tugasnya.

Piet Hitam mengenakan kostum berwarna warni dengan wajah hitam, sembari membawa sapu untuk membersihkan cerobong asap suatu rumah yang juga digunakan untuk memukul anak yang berperilaku nakal.

Terkadang Piet Hitam juga membawa sebuah karung, namun isinya bukanlah hadiah untuk anak-anak, melainkan untuk menakut-nakuti anak-anak tersebut bahwa jika berperilaku nakal maka akan dibawa dan dibuang ke Spanyol.

Kemunculan Sinterklas sebagai sebuah kebudayaan dimulai pada abad pertengahan di Belanda. Perayaan kelahiran Santa Nicholas tersebut dimanfaatkan sebagai momentum untuk membantu orang-orang yang miskin dan juga terdapat karnaval.

Hingga pada masa Reformasi Gereja di Eropa sekira abad 16 hingga 17, Belanda berubah menjadi sebuah republik Protestan, dan mulai melarang berbagai perayaan-perayaan Katolik.

Meskipun begitu, perayaan Hari Lahir Santa Nicholas selalu ada setiap tahunnya. Hingga pada akhirnya pemerintah Belanda memperbolehkan perayaan Sinterklas tersebut.

Budaya ini kemudian dibawa oleh Belanda dan disebarkan ke berbagai wilayah koloninya. Tidak terkecuali Indonesia, atau Hindia Belanda pada saat itu. Namun, ada beberapa perbedaan dalam perayaan di Belanda dengan perayaan di Hindia Belanda.

Menurut antropolog Frieda Amran, yang menjadi perbedaan adalah konstruksi rumah antara di Belanda dan Hindia Belanda. Umumnya rumah di Hindia Belanda tidak dilengkapi dengan cerobong asap.

Oleh karena itu, anak-anak di Hindia Belanda biasanya menaruh sepatu berisi rumput serta gelas minuman untuk kuda Sinterklas di bawah jendela kamar mereka.

Setelah Indonesia meraih kemerdekaannya, perayaan setiap Desember ini tetap dilakukan, dan juga dijadikan ajang saling berbagi hadiah.

Perayaan ini terus dilakukan pada tahun 1950-an. Hingga pada 1957, terjadi gejolak politik yang membuat perayaan sinterklas ini dilarang.

Pada saat itu, Irian Barat atau sekarang Papua Barat belum berada di bawah kendali pemerintahan Indonesia. Pada 1957 Indonesia gagal mendulang dukungan atas masalah Irian Barat melalui PBB.

Tidak bisa mencari dukungan dari luar negeri, Pemerintah Indonesia pada saat itu melakukan nasionalisasi perusahaan Belanda serta ekstradisi warga negara Belanda dari Indonesia.

Presiden Soekarno juga melarang budaya-budaya Belanda, salah satunya yaitu perayaan Sinterklas . Pelarangan ini dikenal sebagai peristiwa Sinterklas Hitam. Meskipun identik dengan perayaan Natal, pada saat itu masih belum dianggap sebagai salah satu ritual keagamaan yang senilai dengan perayaan Natal itu sendiri sehingga tidak ada reaksi yang justru menjadi bumerang dari kebijakan pemerintah tersebut.

Karena Sinterklas Hitam tersebut, beberapa tahun sinterklas tidak bisa muncul ketika perayaan Natal tiba di Indonesia. Hingga pada dekade 1970-an, sosok Sinterklas di Indonesia mulai mengikuti model Santa Claus Amerika.

Termasuk kendaraannya yang asalnya Sinterklas dengan kudanya kini Santa Claus dengan rusanya. Selain itu juga Santa Claus membawa lonceng.

Meskipun begitu, Sinterklas Belanda masih ada di Indonesia, lengkap dengan asistennya, yaitu Piet Hitam atau Zwarte Piet. Mereka masih bisa ditemukan di Manado ketika menjelang perayaan Natal. (Mohammad Aqshal Fazrullah)***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *