Presiden Joe Biden baru-baru ini memprakarsai pembentukan forum perdagangan Indo-Pacific Economic Framework, IPEF, atau Kerangka Kerja Ekonomi Indo-Pasifik, yang melibatkan negara-negara Asia Pasifik kecuali China.
Duta Besar Perwakilan Dagang AS, Katherine Tsai, optimis dengan hasil dari pertemuan di Los Angeles pada 8 sampai 9 September lalu yang membahas prakarsa itu.
“Pertemuan ini merupakan kesempatan untuk memperdalam kemitraan kami dan merinci bagaimana kami akan bekerja secara kolektif untuk membahas tantangan dan peluang yang akan menentukan abad ke 21,” katanya.
Berbeda dari persetujuan perdagangan dan investasi yang tradisional, forum ini tidak memuat akses pasar atau pengurangan tarif, dan hasil perundingan nantinya akan berbentuk sebuah “persetujuan eksekutif.” Untuk AS hal ini berarti pemerintah tidak memerlukan persetujuan kongres untuk memberlakukannya. Namun hal ini tampaknya akan mengurangi minat negara peserta.
Menurut Mireya Solis, peneliti senior dan direktur dari Pusat Studi Kebijakan Asia Timur di Brookings Institution di Washington DC, meskipun ada keterbatasan ini, namun tampaknya AS mengupayakan insentif yang bisa membangkitkan minat para negara peserta.
“Perkembangan lain yang menarik menurut saya adalah pengumuman tentang kemitraan publik swasta dari bisnis Amerika yang akan menyediakan peningkatan keterampilan pembangunan kapasitas untuk perempuan di banyak negara berkembang yang ikut serta,” jelasnya.
Namun Solis juga memperingatkan bahwa perundingan ini masih akan berlangsung lama dan alot, apalagi kalau tujuannya hendak mencapai persetujuan yang benar-benar bermakna dan bukan sekedar komitmen diatas kertas saja.
Untuk memperoleh perspektif lebih fokus, khususnya dari Asia Tenggara, VOA menghubungi Jonathan Pincus seorang pakar ekonomi senior Program Pembangunan PBB UNDP di Vietnam, yang juga berpengalaman selama lebih dari satu dekade berkarya di Indonesia.
Pincus mengingatkan bahwa negara-negara Asia Tenggara memiliki perbedaan-perbedaan yang jauh lebih kompleks di antara mereka dibandingkan misalnya dengan perbedaan di antara negara-negara maju, dan dia mencontohkan Indonesia dan Vietnam.
“Tahun depan Indonesia akan menjadi Ketua ASEAN, kalau IPEF bisa menghasilkan sesuatu untuk ASEAN menurut saya hal itu akan sangat menarik untuk Indonesia. Selain itu, Presiden Joko Widodo berada pada tahun terakhir dari masa kepresidenannya, dan dia memikirkan tentang citra dirinya serta apa yang bisa diwariskannya kepada pemerintahan berikutnya, jadi menurut saya prakarsa besar seperti ini adalah sesuatu yang memotivasi pemerintah Indonesia pada saat ini dalam daur elektoral Indonesia. Untuk negara seperti Vietnam IPEF lebih terkait dengan isu yang selalu membayangi yakni menyeimbangkan hubungannya dengan AS dan China,” jelasnya.
Pemerintahan Biden memiliki ambisi “early harvest” (panen dini) atau sudah menghasilkan butir-butir persetujuan menjelang pertemuan APEC pada November 2023. Namun kedua pakar ini memperingatkan bahwa hal ini tidak mudah.
Dalam penataan ekonomi digital misalnya, AS dan negara-negara maju senantiasa menekankan kebebasan aliran data serta bebas dari kebijakan proteksi, namun negara-negara Asia Tenggara masih belum siap untuk menerima tatanan semacam itu. [jm/em]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.