Agama Turut Jadi Penentu Pemilih dalam Pemilu 2024

Agama Turut Jadi Penentu Pemilih dalam Pemilu 2024

Pendiri lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyebut faktor agama turut menentukan pemilih dalam pemilihan presiden maupun legislatif di Pemilu 2024. Faktor agama dinilai sudah menjadi hal terpenting dalam memengaruhi perilaku politik masyarakat. Hasil temuan itu diperoleh dari serangkaian observasi sejak tahun 2021 hingga 2022 melalui survei nasional dengan sampel mencapai 8.319 responden.

“Apakah itu di pemilihan presiden maupun legislatif. Bahkan itu menjadi faktor terpenting dari semua hal yang bisa memengaruhi perilaku publik dalam pemilihan presiden dan legislatif,” kata Saiful, Kamis (13/10).

Saiful menjelaskan, hasil survei tersebut menunjukkan faktor agama dalam pemilihan presiden ada perbedaan signifikan secara statistik antara perilaku politik pemilih Muslim dan non-Muslim. SMRC menjadikan sosok Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto sebagai sampel uji coba. Data survei SMRC sejak tahun 2021 menunjukkan Anies cenderung dipilih oleh pemilih Muslim dibandingkan non-Muslim.

“Adanya perbedaan itu penting riil ada di masyarakat bahwa orang Muslim cenderung memilih Anies dibandingkan dengan non-Muslim. Proporsinya 24 persen berbanding 17 persen. Demikian juga pada pemilih Prabowo yang Muslim sebanyak 33 persen dan non-Muslim ada 23 persen,” jelasnya.

Sejumlah tokoh hadir dalam "Reuni Persaudaraan 212" tahun 2019, termasuk calon presiden Prabowo Subianto, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Mantan Ketua Umum PAN Amien Rais. (Foto Courtesy)

Sejumlah tokoh hadir dalam “Reuni Persaudaraan 212” tahun 2019, termasuk calon presiden Prabowo Subianto, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Mantan Ketua Umum PAN Amien Rais. (Foto Courtesy)

Sementara pada Ganjar selisih proporsi pemilih Muslim sebanyak 28 persen. Namun itu dinilai kecil lantaran adanya kecenderungan proporsi pemilih non-Muslim lebih besar dibandingkan yang Muslim. Ada 32 persen pemilih non-Muslim yang mendukung Ganjar. Sedangkan pemilih non-Muslim yang memilih Prabowo sebanyak 23 persen dan Anies ada 17 persen.

Hal itu menunjukkan bahwa ada kecenderungan mengakomodasi pemilih dari kalangan minoritas lebih besar pada Ganjar.

“Artinya pada Ganjar kecenderungan mengakomodasi penganut agama minoritas lebih besar ketimbang pada pemilih Muslim,” ungkap Saiful.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan wakilnya Taj Yasin usai pembentukan Satgas penanganan kemiskinan ekstrem di Semarang. (Foto: Courtesy/Humas Pemda Jateng)

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan wakilnya Taj Yasin usai pembentukan Satgas penanganan kemiskinan ekstrem di Semarang. (Foto: Courtesy/Humas Pemda Jateng)

Latar Belakang Agama Dinilai Penting

Berdasarkan hasil survei tersebut maka dapat disimpulkan bahwa latar belakang agama penting dalam pemilihan presiden. Dalam proses pencalonan presiden faktor agama tidak bisa diabaikan.

“Kalau orang yakin bahwa agama itu penting selama ini faktanya menunjukkan terbukti. Latar belakang agama menjadi penting dalam pilpres. Oleh karena itu dalam proses pencalonan presiden faktor ini tidak bisa diabaikan harus dihitung,” ucap Saiful.

Selanjutnya, faktor latar agama juga turut menentukan pemilih dalam pemilihan legislatif. Secara umum pemilih Muslim dan non-Muslim juga memiliki perbedaan yang signifikan dalam menentukan pilihan partai politik. Hasil survei SMRC menunjukkan pemilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) hampir seluruhnya pemilih Muslim sebanyak 10 persen dan non-Muslim hanya 1 persen.

Namun, komposisi dukungan suara PKB yang hampir semuanya dari kalangan Muslim berbanding terbalik dengan PDI-Perjuangan. PDI-Perjuangan menjadi partai yang paling banyak didukung dari pemilih non-Muslim. Hasil survei SMRC menunjukkan PDI-Perjuangan didukung 22 persen dari pemilih Muslim dan non-Muslim sebanyak 48 persen.

“Pemilih non-Muslim yang memilih PDI-Perjuangan itu sebanyak 48 persen, PKB 1 persen, dan Gerindra 4 persen. Dalam pemilihan legislatif terutama PDI-Perjuangan melawan partai lainnya perbedaan agama menjadi sangat penting dan tidak bisa diabaikan,” pungkas Saiful.

Agama Jadi Referensi Politik, Wajarkah?

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin mengatakan, faktor agama dijadikan referensi politik bagi pemilih merupakan hal wajar termasuk dalam pemilihan presiden.

“Justru dengan sekuler dan keagamaan yang tak bagus membuat masyarakat tidak terlalu suka. Oleh karena itu yang beragama dan moderat itu menjadi penting. Saya melihat wajar jika ada temuan bahwa agama menentukan dalam Pemilu 2024,” katanya kepada VOA.

Menurut Ujang, faktor keagamaan menjadi hal penting dalam konteks pilih dan memilih. Pasalnya, ketika agama dijadikan frekuensi politik masyarakat maka itu merupakan hak dari pemilih.

“Ya bebas-bebas saja. Kita ini demokrasi, kalau agama dijadikan hal yang penting dalam menentukan pemilihan itu bagus. Terpenting agama tidak dipolitisasi itu yang tak boleh. Jangan agama dipolitisasi untuk kepentingan kelompok atau kekuasaan,” tandasnya. [aa/em]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *