Memproduksi Makanan Akibatkan Masalah, Salah Satunya Kelangkaan Air

Memproduksi Makanan Akibatkan Masalah, Salah Satunya Kelangkaan Air

tribunwarta.com – Sistem makanan global yang memungkinkan kita untuk membeli apa pun makanan yang kita mau, kapan pun dan di mana pun kita berada.

Perilaku ini sering kali ber­dam­pak buruk bagi lingkungan. Dapatkah kita untuk mengubah perilaku tersebut?

Buah pir dari Argentina, bluberi dari Peru, dan kacang mede dari California merupakan beberapa contoh dari ribuan produk makanan yang dapat dibeli ketika berada di pasar swalayan.

Satu abad ke belakang, sepertinya para leluhur kita tidak pernah memikir­kan tentang keanekaragaman makanan yang melimpah. Sekarang kita bisa me­mi­lih makanan apa pun yang kita suka.

Satu pasar swalayan di Jerman menyediakan lebih dari 10.000 produk. Di Amerika, pasar swalayan rata-rata menjual lebih dari 30.000 produk me­nurut Asosiasi Industri Makanan Amerika.

Konsumen atau pembeli mungkin akan sedikit kebingungan saat memilih produk atau makanan jenis apa yang akan mereka beli. Namun, apakah Anda tahu, pembelian produk makanan tersebut memiliki dampak bagi lingkungan?

Menurut European Commission, konsumsi makanan adalah penyebab utama dari beberapa kerusakan lingkungan yang ada saat ini. Masalah yang timbul akibat konsumsi berlebihan.

Produksi makanan menghasilkan satu perempat dari emisi gas rumah kaca du­nia. Kebanyakan dihasilkan dari daging sapi dan susu. Produksi daging sapi dan susu ini menyumbang hampir 15 persen dari emisi gas rumah kaca di seluruh dunia.

Memproduksi makanan juga mengakibatkan masalah lain seperti polusi , hilangnya keanekaragaman hayati, kontaminasi tanah dan kelangkaan air.

Dilansir laman www.dw.com, kon­sum­si makanan di seluruh dunia me­ning­kat selama beberapa dekade.

Nega­ra-negara berpenghasilan tinggi seperti Amerika dan Jerman menjadi negara yang paling banyak mengonsumsi ma­kanan. Pada saat yang bersamaan, PBB memperkirakan rumah tangga di seluruh dunia membuang 11 persen dari jumlah makanan yang tersedia (meskipun sur­vei ini tidak mencakup negara-negara berpenghasilan rendah).

Jadi, mengapa kita membeli makanan lebih banyak dari yang kita bisa konsumsi?Manusia secara tidak sadar memiliki ketakutan akan kelaparan.

Rasa takut akan kelaparan ini berawal dari masa sulit untuk mendapatkan makanan ber­abad-abad lalu.

“Kita ­punya keinginan lahiriah atau keinginan bawaan sebagai manusia, sebagai makhluk hidup, untuk memastikan kita punya cukup makanan untuk kita dan anak-anak,” ujar Janet Chrzan, antropolog nutrisi dari University of Pennsylvania.

“Jika lingkungan Anda terancam, Anda khawatir kehabisan makanan, maka Anda akan memiliki kecenderungan untuk menimbun makanan.”

Bagaimana cara memilih makanan?

Selain adanya fakta bahwa manusia butuh makanan untuk bertahan hidup, ada faktor lain yang memengaruhi ma­nusia untuk memilih atau membeli ma­kanan di pasar swalayan.

Sosiolog makanan Bernama Stefan Wahlen dari University of Giessen di Jerman mengatakan meskipun ada masalah kecil, 95% orang akan cenderung memilih makanan yang sama.

“Anda makan setiap hari, walaupun ingin mencoba makanan yang baru, supaya ada sedikit variasi,” katanya.

Dia juga menambahkan, rutinitas itu membantu kita untuk bisa mendapatkan makanan yang beragam sehari-hari.

Saat pembeli melihat begitu banyak pilihan makanan di pasar swalayan, konsumen atau pembeli akan memilih makanan dengan cepat sesuai dengan kebiasaan mereka.

Kebiasaan konsumen sangat sulit untuk diubah karena pilihan makanan dan pola makan sangat melekat dalam hidup mereka.

Tetapi, ahli iklim mengatakan, per­ubahan pola makan seperti melakukan diet adalah hal yang harus segera dilakukan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca yang ada.

Jika kita sadar, kita akan lebih sedikit memakan daging sapi dan mulai makan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan agar lebih ramah lingkungan.

Mungkinkah perubahan sikap terjadi?

Menurut Chrzan, harus ada usaha yang lebih keras untuk “mengedukasi orang-orang agar mulai memilih makanan yang lebih ramah lingkungan dan menjelaskan dampaknya bagi kehidupan di bumi ini.

Mungkin sulit bagi konsumen untuk mengetahui makanan mana yang berkelanjutan secara ekologis, mengingat sebagian besar produk tidak menampilkan ciri dari makanan yang berkelanjutan seperti berapa banyak lahan dan air yang digunakan untuk memproduksi makanan tersebut.

Chrzan mengatakan, informasi tersebut harus ada di bungkus makanan agar masyarakat bisa tahu makanan tersebut termasuk makanan yang berkelanjutan atau tidak.

Langkah lain, memberlakukan pajak dan subsidi agar harga makanan yang berkelanjutan menjadi jauh lebih terjangkau.

Cara yang lain untuk membuat konsumen tertarik adalah mengubah atau memodifikasi sedikit bungkus makanan yang digunakan seperti dihias semenarik dan seunik mungkin agar pembeli tergiur untuk membeli dan memakan produk tersebut.

Chrzan menjelaskan masyarakat juga bisa mengadopsi pola makan yang lebih sehat. Contohnya, memilih makanan berdasarkan nilai gizi agar tubuh lebih sehat dan lingkungan bisa membaik. (FFB/Huminca)***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *