Rasa keadilan itulah yang terusik dalam kasus pembununan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat. Ia ditembak oleh senjata yang dibeli negara dari hasil peras keringat rakyat lewat pembayaran pajak.
Tanpa etika, wewenang yang dimiliki polisi mudah disalahgunakan. Wewenang yang melekat pada anggota polisi, salah satunya ialah dipersenjatai dengan kategori senjata melumpuhkan untuk memastikan keamanan dan ketertiban.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Menurut Peraturan Polisi (Perpol) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri, setiap pejabat Polri dalam etika kelembagaan wajib menjaga, mengamankan, dan merawat senjata api, barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak milik Polri yang dipercayakan kepadanya.
Di samping etika, ada peraturan disiplin anggota Polri yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2003. Disiplin itu ibarat oksigen yang dipompakan dari paru-paru Polri.
Penegasan dalam penjelasan umum peraturan pemerintah itu sangat keras. Disebutkan, organisasi yang baik bukanlah segerombolan orang yang berkumpul dan bebas bertindak semaunya, organisasi harus punya aturan tata tertib perilaku bekerja dan bertindak.
Organisasi yang baik dan kuat ialah organisasi yang punya aturan tata tertib intern yang baik dan kuat pula. Aturan tersebut dapat berbentuk peraturan disiplin, kode etik, ataupun kode jabatan. Kode etik Polri yang ditetapkan pada 14 Juni 2022 dan diundangkan sehari kemudian itu bagian yang tak terpisahkan dari upaya memperkuat organisasi Polri.
Terkait penanganan kasus kematian Brigadir J, Mabes Polri membentuk dua tim. Pertama, tim khusus (timsus) yang menangani terkait pidana. Penetapan tersangka dalam kasus kematian Brigadir J merupakan hasil kerja timsus. Kedua, tim Inspektorat Khusus (Irsus) yang menangangi dugaan pelanggaran etik. Irsus sudah melakukan pemeriksaan terhadap 31 orang.
Kedua tim itu kini bertemu dalam status mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo. Terkait dugaan pelanggaran etik oleh Irsus, Sambo ditempatkan pada tempat khusus di Mako Brimob sejak Minggu, 7 Agustus 2022. Sambo juga sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh timsus sejak Selasa, 9 Agustus 2022.
Ada tiga tempat penahanan yang dikenal dalam KUHAP, yaitu penahanan rumah, penahanan kota, dan penahanan rumah tahanan negara. Akan tetapi, Sambo terlebih dahulu ditempatkan di penahanan pada tempat khusus.
Penahanan pada tempat khusus diatur dalam PP Nomor 2 Tahun 2003 terkait disiplin dan Perpol Nomor 7 Tahun 2022 terkait etik. Menurut PP Nomor 2 Tahun 2003, penempatan dalam tempat khusus ialah salah satu jenis hukuman disiplin yang dijatuhkan kepada anggota Polri yang telah melakukan pelanggaran disiplin dengan menempatkan terhukum dalam tempat khusus.
Penempatan dalam tempat khusus itu, menurut PP Nomor 2 Tahun 2003, paling lama 21 hari. Bilamana ada hal-hal yang memberatkan pelanggaran disiplin, penempatan dalam tempat khusus dapat diperberat dengan tambahan maksimal tujuh hari.
Adapun ‘tempat khusus’ yang dimaksud dapat berupa markas, rumah kediaman, ruangan tertentu, kapal, atau tempat yang ditunjuk oleh ankum.
Perpol Nomor 7 Tahun 2022 merumuskan tempat khusus sebagai tempat dan/atau ruang tertentu yang ditunjuk Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Kepala Kepolisian Daerah atau Kepala Kepolisian Resor dalam penegakan Kode Etik Profesi Polri (KEPP).
Akan tetapi, menurut perpol, penempatan pada tempat khusus itu dilaksanakan setelah adanya putusan KEPP. Meski demikian, dalam hal tertentu, penempatan pada tempat khusus dapat dilaksanakan sebelum pelaksanaan sidang KKEP dengan pertimbangan: keamanan/keselamatan terduga pelanggar dan masyarakat; perkaranya menjadi atensi masyarakat luas; terduga pelanggar dikhawatirkan melarikan diri; dan/atau mengulangi pelanggaran kembali.
Penempatan pada tempat khusus sebelum sidang KEPP paling lama 30 hari kerja. Perintah pelaksanaan penempatan pada tempat khusus terhadap terduga pelanggar itu dilaksanakan berdasarkan perintah Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri/Kepala Kepolisian Daerah/Kepala Kepolisian Resor sesuai kewenangannya.
Sebaik-baiknya pelaksanaan penegakan etika di suatu lembaga, saran yang disampaikan pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie patut dipertimbangkan. Ia menyarankan agar lembaga-lembaga penegak kode etik harus direkonstruksikan sebagai lembaga peradilan etik yang diharuskan menerapkan prinsip-prinsip peradilan yang lazim di dunia modern, terutama soal transparansi, independensi, dan imparsialitas.
Agar hukum bisa mengapung di atas samudra etika seperti yang dikatakan Earl Warren, syaratnya ialah samudra tidak boleh kering. Ketika samudra etika itu kering, hukum hanyalah seonggok kertas tanpa keadilan. Jangan sampai itu terjadi dalam kasus kematian Brigadir J.
Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.