Djangat, entitas yang dibentuk komposer Anggara Satria yang berbasis di Pekanbaru. Sejak tahun 2002, Angga sudah bereksperimen dan mengeksplorasi bunyi berakar seni tradisi, meski di sisi lain dia juga mendalami musik kontemporer. Kiprah Angga sebagai komposer bahkan sampai ke Malaysia dan Singapura. Pada 2015, Angga memiliki ketertarikan pada seni kayat (dari kata hikayat) dari kabupaten Kuantan Singingi. Gayung bersambut, Angga bertemu dengan Yunatrawan yang erat pada seni tradisi Kuantan Singingi. Kemudian Angga melibatkan dan juga kawan lamanya Leva Kudri Balti yang juga memiliki ketertarikan pada seni musik berbasis tradisi.
“Kayat itu terminologi dari hikayat. Aku awalnya suka kayat karena menceritakan nabi-nabi, tapi intinya punya pesan di balik cerita. Awalnya di Kuantan Singinging itu menceritakan nabi, sekarang berkembang menceritakan kayat muda-mudi. Dalam kayat itu intinya mengingatkan orang,” ujar Angga saat ditemui di belakang panggung.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Angga lantas meramu proyek yang disebutnya “post kayat” ini dengan balutan musik elektronik. Dia bereksperimen musik dari modular elektronik dan komputer. Kendati demikian, Djangat tetap melahirkan kayat dengan latar irama yang menarik untuk didengar, didendangkan, dan tentu saja membuat siapa saja yang mendengarnya bergoyang.
Kedalaman dan keseriusan Djangat menggali kayat dilakukan betul-betul oleh Yunat yang melakukan riset pendalaman materi ke daerah-dearah terpencil, tempat di mana akar tradisi kayat masih sangat kuat.
“Teks dalam Hikayat bahan bakunya pantun. Saya lebih erat dengan tradisi hikayat, saya menyusun semua lirik dalam kayat. Nyari peribahasa, kayat, sampai ke kampung-kampung menggali bahasa lama, atau simbol bahasa lama. Bahasa yang sekarang sudah tidak digunakan lagi,” jelas Yunat.
Dalam aksi panggungnya di Riau Global Music, Djangat menyuguhkan repertoar seri “kayat binatang.” Dalam seri “kayat binatang,” Djangat menyampaikan satire tentang perilaku binatang yang dapat menjadi cermin perilaku manusia.
“Misal kami ada (lagu) kayat ikan, menceritakan karakter ikan yang selalu lupa. Ikan selalu saja masuk ke jaring. Atau tentang harimau, hewan yang aktif bekerja adalah yang betina. Sedangkan pejantannya bermalas-malasan. Ini seperti kehidupan manusia, ada laki-laki malas bekerja. Bagi kami yang penting pesan yang ada di dalam kayat itu masuk ke pendengar, lewat kisah-kisah yang satire,” jelas Angga.
Riau Global Music International Festival 2022 menghadirkan 18 grup musik berbasis musik tradisi. Mereka adalah Riau Rhytm (Pekanbaru), Pura Mahligai (Dumai), Bathin Galang (Meranti), Djangat Indonesia (Pekanbaru), De Tradisi (Sumatera Utara), Armarosa (Rokan Hilir), Omok (Siak), Taman Bunga (Sumatera Utara), Cenglu (Solo, Amerika Serikat), WS Trio (Indra Giri Hulu), Limuno (Kuantan Singingi), Kober (Pelalawan), Blacan Aromatic (Bengkalis), Sendayung (Kampar), Geliga (Pekanbaru), Shaziva (Kep. Riau), Rumah Seni Balai Proco (Rokan Hulu), Martha & Syndicate (Indragiri Hilir).
(ASA)
Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.