Stabilitas sistem keuangan Indonesia disebut masih dalam kondisi terjaga di tengah tekanan perekonomian global yang meningkat, seperti inflasi global, perang Rusia-Ukraina, dan agresifnya respon pengetatan kebijakan moneter global. Pernyataan ini disampaikan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) usai melaksanakan rapat koordinasi untuk kuartal II-2022 pada Jumat (29/7) di Kementerian Keuangan.
“Daya tahan resiliensi stabilitas sistem keuangan atau SSK menjadi pijakan KSSK untuk tetap optimis, namun juga terus mewaspadai berbagi tantangan dan risiko yang sedang dan akan terus terjadi dan akan kita hadapi,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani di Youtube Kementerian Keuangan, Senin (1/8).
Sri menyampaikan, ada beberapa isu yang menjadi perhatian KSSK saat ini, yaitu pertumbuhan ekonomi global yang diperkirakan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya dan meningkatnya risiko stagflasi dan ketidakpastian pasar keuangan global.
“Tekanan inflasi global terus meningkat seiring dengan tingginya harga komoditas akibat berlanjutnya gangguan rantai pasok yang diperparah oleh berlanjutnya perang di Ukraina dan meluasnya kebijakan-kebijakan proteksionisme di bidang pangan,” ujar perempuan yang kerap dipanggil Srimul itu.
Lebih lanjut, dia juga menyampaikan berbagai negara saat ini, terutama Amerika Serikat, telah merespon naik dan tingginya inflasi dengan mengetatkan kebijakan moneter dan juga lebih agresif di dalam meningkatkan suku bunganya. Hal ini menyebabkan pemulihan ekonomi di Amerika Serikat tertahan dan meningkatkan terjadinya fenomena stagflasi.
Menurut Srimul, pertumbuhan ekonomi di berbagai negara termasuk Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Cina, dan India, diperkirakan akan lebih rendah dari proyeksi pertumbuhan ekonomi mereka sebelumnya, bahkan disertai dengan meningkatnya kekhawatiran resesi Amerika Serikat.
“Seperti diketahui, Bank Dunia dan IMF sudah merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan global tahun 2022, masing-masing dari 4,1% menjadi 2,9% yang dilakukan Bank Dunia, dan dari 3,6% menjadi 3,2% menurut IMF,” tuturnya.
Srimul juga menjelaskan, saat ini tekanan nilai tukar di berbagai negara berkembang terus terjadi, termasuk di Indonesia. Ini dipicu adanya ketidakpastian di pasar keuangan global akibat tingginya inflasi di negara maju dan pengetatan dari kebijakan moneter, sehingga capital outflow khususnya investasi portofolio terus terjadi.
Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.