Larangan itu bakal permanen. Artinya, hanya mereka yang lahir sebelum 2008 yang boleh merokok dan membeli rokok di Selandia Baru. Meskipun sanksinya belum ditetapkan, konsumsi rokok oleh orang-orang yang lahir setelah 2008 dianggap sebagai sebuah kejahatan.
“Kita ingin memastikan bahwa anak-anak muda tak akan mulai merokok. Jadi, kami akan membuat aktivitas menjual atau menyuplai produk rokok terhadap anak-anak muda sebagai sebuah kejahatan. Orang-orang berusia 14 tahun ketika UU ini berlakua tak akan pernah bisa membeli rokok secara legal,” jelas Ayesha.
Regulasi serupa konon tengah digodok pemerintah Australia. Dalam sebuah laporan, Australia disebut berencana melarang penjualan dan konsumsi rokok bagi generasi muda pada 2030 secara nasional.
Sebagaimana larangan merokok di ruang publik, regulasi teranyar soal rokok yang dirilis Selandia Baru itu sebenarnya tak orisinal. Pada September 2020, Brookline, Masscchussetts, AS, sudah memberlakukan regulasi semacam itu. Brookline melarang penjualan rokok bagi mereka yang lahir setelah 1 Januari 2000.
Persekusi perokok
Ini bukan kali pertama merokok diasosiasikan sebagai kejahatan. Di masa lalu, para perokok bahkan jadi target persekusi. Di berbagai belahan dunia, para perokok harus sembunyi dari kejaran aparat penegak hukum supaya bisa menikmati tembakau.
Salah satu larangan merokok paling tua dikeluarkan Paus Urban VII pada pada 1624. Ketika itu, sang Paus melarang umat Katolik merokok karena konsumsi tembakau dianggap memicu bersin yang menyerupai ekstasi seksual.
“Saya akan mengekskomunikasi siapa pun yang mengonsumsi tembakau di luar atau di dalam gereja, baik itu yang mengunyah, mengisap dengan pipa, atau yang menyedot bentuk serbuknya lewat hidung,” kata Paus Urban VII seperti dikutip dari Nicotine, an Old Fashioned Addiction yang terbit pada 1985.
Larangan itu bertahan selama lebih dari satu abad. Paus Benedict XIII menghapus semua larangan konsumsi tembakau yang pernah dikeluarkan gereja. Benedict XIII dikenal sebagai perokok berat. Pada 1779, Vatikan bahkan membuka pabrik tembakaunya sendiri.
Dalam The Ashtray of History yang tayang di The Atlantic, Abigail Cutler menulis salah satu larangan merokok paling keji diberlakukan di Rusia pada 1634 oleh Tsar Michael Feodorovich. Pada era rezim Michael, para perokok diancam hukuman cambuk, potong hidung, dan bui seumur hidup di Siberia.
Penerus Michael, Tsar Alexei Mikhailovitch bahkan memperbolehkan polisi Rusia menyiksa para perokok hingga mereka mengungkap nama para penyuplai tembakau. “Pada 1674, para perokok dianggap sebagai kriminal yang bisa diancam hukuman mati,” tulis Cutler.
Di Kekaisaran Ottoman, larangan tembakau dan penangkapan besar-besaran terhadap para perokok pernah terjadi pada era kekuasaan Sultan Murad IV. Pemicunya ialah kebakaran besar karena puntung rokok di Cibali, sebuah distrik di Istanbul, pada 1633. Puntung rokok itu milik seorang nelayan yang ketiduran di perahunya yang tertambat di perairan Cibali.
Ketika itu, api melahap lebih 20 ribu rumah dan menyebabkan sekitar 50 ribu orang jadi pengungsi. Murka, sang Sultan mengeluarkan larangan keras terhadap konsumsi tembakau. Ia menghancurkan kedai-kedai kopi tempat berkumpulnya para perokok dan menangkap warga yang kedapatan merokok.
“Disebutkan sekitar 20 ribu orang diperkirakan dieksekusi. Ketika itu, tembakau mulai dikenal dengan sebutan tutun, berasal dari tutmek (merokok) di Ottoman Turki,” tulis Ekrem Bugra Ekinci dalam “Journey of tobacco from Caribbean to Ottoman Empire”.
Larangan konsumsi tembakau dianulir oleh penguasa baru Ottoman, Sultan Mehmed IV. Larangan itu dibatalkan lewat fatwa yang dikeluarkan Syekh al-Islam Bahai Effendi, guru spiritual Mehmed IV. Efendi dikenal sebagai pecandu sigaret.
“Tembakau mulai ditanam lagi di 41 kota dan sekitar sepuluh ribu warga menggantungkan hidup dari perkebunan dan pabrik tembakau. Tak butuh lama, tembakau oriental mendunia lagi,” jelas Ekinci.
Pada era modern, kampanye antitembakau paling “ganas” pernah diluncurkan di Jerman oleh pemimpin Nazi Adolf Hitler. Hitler menganggap merokok sebagai kebiasaan ras rendahan dan mengancam reproduksi para perempuan ras Arya.
Nazi menggunakan sejumlah taktik untuk meyakinkan publik agar berhenti merokok. Majalah-majalah kesehatan besar, misalnya, diwajibkan mempublikasikan bahaya kesehatan yang mengancam para perokok. Poster-poster antitembakau dipasang di ruang publik.
Sejalan dengan itu, larangan merokok juga diberlakukan di ruang publik, mulai dari institusi kesehatan, kantor Nazi, hingga sekolah. Para prajurit Jerman bahkan tidak diperkenankan merokok saat bertugas. Pada 1941, cukai tembakau didongkrak hingga 80-95% dari harga retail.
“Itu jadi kenaikan cukai tembakau terbesar di Jerman selama 25 tahun setelah kejatuhan rezim Nazi,” tulis Robert N Proctor dalam “The Anti-Tobacco Campaign of The Nazi: A Little Known Aspect of Public Health In Germany” yang terbit di Jurnal BMJ pada 1996.
Di kalangan militer, kampanye itu tergolong sukses. Dalam sebuah survei pada 1944, konsumsi tembakau turun hingga 23,4%. Jumlah orang yang mengisap 30 batang rokok atau lebih per hari juga turun dari 4,4% menjadi 0,3%.
Namun, efektivitas kampanye antitembakau Nazi memudar setelah Perang Dunia II berakhir. Konsumsi domestik meningkat hingga melebihi masa-masa jelang perang. Pada periode 1932-1939, konsumsi per kapita perokok Jerman berada di kisaran 570-900 batang per tahun.
Dilema pelarangan total
Rokok diperkirakan membunuh sekitar seratus juta orang pada abad ke-20. Tanpa regulasi ketat, Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan endemi rokok diproyeksikan bakal membunuh ratusan juta lainnya pada abad 21.
Meski begitu, tak semua sepakat larangan total terhadap konsumsi tembakau. Direktur Komunikasi Drug Policy Alliance Network, Tony Newman mengatakan memperlakukan perokok bak penjahat justru bakal melahirkan beragam persoalan turunan.
Sebagaimana direkam catatan sejarah, menurut Newman, tak peduli betapa kerasnya larangan merokok diberlakukan, para perokok bakalan tetap merokok. Ia berkaca pada perang terhadap narkotika di AS yang relatif tak bikin jumlah pecandu berkurang.
“Kita akan melihat para perokok menyembunyikan kebiasaan mereka dan mengisap rokok di koridor dan sudut-sudut gelap, takut ditangkap. Kita akan menyaksikan polisi menghabiskan waktu dan sumberdaya hanya untuk menertibkan dan menangkap para perokok,” kata Newman dalam sebuah komentar di CNN.
Larangan menjual rokok, lanjut Newman, potensial memunculkan pasar-pasar gelap tembakau. Keuntungan penjualan rokok hanya bakal beralih dari perusahaan kepada para pengedar. “Akan ada baku tembak di jalanan dan pembunuhan memperebutkan hak untuk menjual tembakau,” imbuh dia.
Dalam sebuah opini di The Conversation, pakar hukum dari University of Tasmania, Brendan Gogarty mengatakan regulasi larangan merokok, terutama spesifik menargetkan kaum muda dengan rentang usia tertentu, diskriminatif. Kebijakan tersebut tidak mengindahkan hak sipil para “korban” regulasi.
“Menargetkan hukum kepada orang-orang yang tak bisa menagih tanggung jawab legislator via pemungutan suara sama sekali tidak demokratis. Selain itu, tidak adil juga sebuah generasi mengatakan pada generasi lainnya untuk ‘melakukan seperti yang saya katakan, bukan seperti yang saya lakukan’,” kata Gogarty.
Menurut Gogarty, regulasi yang bersandar pada sanksi dan larangan tak efektif. Secara khusus, ia menyinggung catatan “kegagalan” regulasi-regulasi yang mengatur larangan minum alkohol dan obat-obatan terlarang.
“Pelarangan jarang berhasil karena beragam alasan. Yang paling penting ialah kepatuhan terhadap regulasi paling baik dicapai lewat kerja sama, bukan koersi… Jika orang-orang memandang sebuah aturan tidak adil, mereka cenderung tak akan mematuhinya,” kata dia.
Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.