RUU ITE belum kedepankan hak berekspresi

RUU ITE belum kedepankan hak berekspresi

Kemudian, pada poin kedua, pihaknya merekomendasikan pembentuk RUU ITE untuk mencantumkan pasal khusus tentang “pembatasan yang sah dan proporsional”. Hal ini dinilai perlu dilakukan agar menjadi dasar bagi penegak hukum dalam menyikapi sejauh mana laporan atas suatu kasus memenuhi kriteria sebagai suatu tindak pidana atau bukan.

Lalu, poin ketiga yakni menghapuskan rumusan pasal tentang pencemaran nama baik dalam RUU ITE. Rumusan pasal ini, kata Sandrayati, berpotensi membatasi hak kebebasan berekspresi secara berlebihan (over limitation). 

Jika pasal pencemaran nama baik dalam RUU ITE dipertahankan, definisi atau unsur pencemaran nama baik harus diuraikan secara jelas, baik dari unsur subjektif, objektif, maupun akibat yang ditimbulkan. Ia juga menyoroti soal ancaman sanksi pidana dalam rumusan pasal ini.

“Selain itu, perkara ini tidak lagi dimasukkan sebagai tindak pidana dengan ancaman sanksi pidana. Melainkan dimasukan ke dalam perbuatan melawan hukum dengan pertanggungjawaban hukum yang bersifat keperdataan, seperti permintaan maaf, ganti rugi atau kompensasi kepada yang dirugikan,” jelasnya.

Lebih lanjut, pihaknya merekomendasikan untuk memperbaiki rumusan Pasal 40 ayat (2b) dengan menekankan, lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan internet shutdown atau pemutusan jaringan internet adalah lembaga independen. 

Lembaga ini berkewajiban memberikan informasi kepada publik mengenai alasan pemutusan jaringan internet, seperti soal lamanya waktu pemutusan, jangkauan wilayah yang diputus, serta dasar dan pertimbangan hukum dari kebijakan pemutusan tersebut. 

“Untuk itu, setiap pembatasan akses internet harus diikuti oleh mekanisme pertanggungjawaban yang jelas sebagai bagian dari kewajiban negara dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia setiap warga negaranya,” terang Sandrayati.

Selain itu, perlu dilakukan pengesahan moratorium penerapan pasal-pasal bermasalah dari UU ITE. Ini dilakukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM sampai RUU ITE.

Terakhir, pihaknya menyarankan agar pemerintah dan DPR merumuskan kembali RUU ITE dengan menggunakan Standar Norma dan Pengaturan Komnas HAM Nomor 5 Tentang Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi sebagai rujukan.

“Hasil penelitian dan pengkajian ini diharapkan menjadi energi serta masukan untuk Pemerintah dan DPR RI dalam melakukan perbaikan atas RUU Perubahan UU ITE yang sejalan dengan upaya menjamin pelindungan, pemenuhan dan penghormatan hak asasi manusia, khususnya hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi bagi seluruh warga Indonesia,” pungkasnya.
 


Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *