Potret ruang baca
Ternyata, suasana sepi juga terjadi di Perpustakaan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Mawar di Jalan Mawar Indah, Cireundeu, Tangerang Selatan. Ruang baca ini berada dalam naungan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) Pemprov DKI Jakarta wilayah Jakarta Selatan.
Saat itu, hanya ada tiga orang pengunjung di ruang berukuran kira-kira tiga kali tiga meter. Jumlah rak dan koleksi bukunya lebih banyak ketimbang di Stasiun MRT Bundaran HI.
“Ya begini keadaannya. Anak sekolah suka numpang ngerjain tugas di sini. Kalau (yang niat) baca kurang sih,” ujar koordinator ruang baca RPTRA Mawar, Hidayat, Rabu (29/6).
Hidayat mengatakan, ruang baca itu berdiri sejak 2016. Ia menilai, terjadi penurunan pesat minat masyarakat berkunjung ke ruang baca itu, terutama sejak pandemi Covid-19 dua tahun silam.
“Sebelum pandemi banyak (yang berkunjung). Hampir 100% lah (penurunan pengunjung),” katanya.
Akibat pandemi, menurut Hidayat, jam operasional ruang baca pun berubah. Semula, ruang baca itu buka pukul 08.00 WIB hingga 22.00 WIB. Lantas waktu operasional itu dipangkas lima jam. Walau sudah ada pelonggaran aturan selama pandemi, tetapi kapasitas pengunjung masih dibatasi.
Maksud baik Hidayat untuk menjalankan program agar minat membaca di masyarakat tumbuh juga terkendala keterbatasan sumber daya.
“Karena pegawai kita masih di luar terus,” ujar Hidayat.
“Instansi sekarang ada program. Petugas RPTRA semua dilibatkan. Jadi kacau.”
Hidayat menerangkan, sebenarnya ada enam pegawai di ruang baca itu. Namun, sekarang tinggal dua orang saja yang aktif, termasuk Hidayat.
Sebenarnya tak sulit menemukan ruang baca publik di Jakarta. Selain ada di empat Stasiun MRT di Jakarta, Dispusip Pemprov DKI Jakarta menyebar ruang baca di banyak titik di Jakarta dan Kepulauan Seribu. Dari data Dispusip Jakarta, setidaknya terdapat 170 ruang baca yang berdiri di RPTRA, rumah susun, taman bacaan masyarakat (TBM) khusus, dan sekolah.
Dispusip Pemprov DKI Jakarta pun membawahi lima perpustakaan besar, seperti Perpustakaan Umum Cikini dan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin di Komplek Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat; Perpustakaan Umum Kuningan di Gedung Nyi Ageng Serang, Jakarta Selatan; Perpustakaan Masyarakat Jakarta (Permata) I di Cakung, Jakarta Timur; dan Perpustakaan Masyarakat Jakarta (Permata) 2 di Koja, Jakarta Utara. Itu belum termasuk perpustakaan yang dikelola swasta, organisasi sosial, atau individu.
Tingkat minat baca warga Jakarta terbilang tak jelek-jelek amat. Hasil jajak pendapat yang dilakukan Dispusip DKI Jakarta pada 2019 menunjukkan, dari 400 responden yang terlibat, kegemaran membaca warga Ibu Kota berada pada skor 72,15.
Hanya saja, jenis bacaan yang dominan adalah artikel di media sosial sebanyak 62,50%. Diikuti berita cetak dan elektronik 19,92%, artikel di sebuah situs 8,69%, dan buku (termasuk e-book) 7,20%.
Potret kunjungan ke perpustakaan rendah pula. Hanya 44,28% yang mengaku pernah ke perpustakaan dari 400 responden.
Rendahnya minat baca orang Indonesia terlihat dalam survei Program for International Student Assessment (PISA) yang dipublikasikan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019. Survei itu menunjukkan, Indonesia ada di peringkat 62 dari 70 negara, berada dalam 10 negara terbawah yang tingkat literasi rendah.
Gairah membaca dan regulasi
Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus (PMPK) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Samto mengatakan, pihaknya tengah berupaya meningkatkan minat baca masyarakat.
“Kami menyalurkan buku ke taman baca masyarakat seluruh Indonesia dari berbagai pihak. Rencananya ada satu juta buku tahun ini. Buku yang kita salurkan sudah 600.000,” ujar Samto saat dihubungi, Rabu (29/6).
Selain itu, bersama taman bacaan masyarakat (TMB), pihaknya juga mengadakan kegiatan yang bisa menarik perhatian warga untuk membaca. “Kita adakan pelatihan, seminar, dan webinar,” ucapnya.
Diakui Samto, tak mudah membuat masyarakat gandrung membaca. Karena itu, perlu cara kreatif untuk dapat meningkatkan minat baca.
“Semoga apa yang kita upayakan itu bisa meningkatkan minat baca,” ucap Samto.
Samto menuturkan, sesungguhnya masyarakat senang membaca. Hanya, fasilitasnya terbatas dan layanan taman bacaan kurang menarik.
“Tapi teman-teman taman bacaan saat ini sedang gencar meningkatkan aktivitas,” kata dia.
Sementara itu, penulis Heri Hendrayana Harris atau tenar dengan nama pena Gol A Gong menilai, rendahnya posisi Indonesia terkait literasi bukan karena rendah pula minat baca. Melainkan karena ada kesenjangan pembangunan ekosistem perbukuan.
“Kalau di Jawa, kita pesta pora dengan buku. Nah, di Sumbawa sampai perbatasan Timor Leste perpustakaannya susah. Orang mau baca buku susah,” ujar penulis Balada Si Roy itu, Kamis (30/6).
“Mau kirim buku ke sana, mahal.”
Duta Baca Indonesia periode 2021-2026 tersebut menjelaskan, dari data Perpustakaan Nasional RI, rasio total jumlah bacaan dan total jumlah penduduk Indonesia hanya 0,04. Artinya, satu buku ditunggu 40 orang.
“Saya sebagai Duta Baca Indonesia, diamanahi bisa enggak satu buku ditunggu 30 orang,” kata dia.
“Berarti, saya harus mencetak penulis.”
Menurut Heri, penulis di daerah punya keterbatasan dalam memproduksi buku, seperti ongkos percetakan yang mahal. Apalagi percetakan buku, katanya, masih terpusat di Jawa.
Heri mengatakan, sebenarnya sudah ada solusi dari pemerintah, dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Di dalam regulasi tersebut, pemerintah berusaha membuat aturan hukum agar terjadi pemerataan pembangunan ekosistem perbukuan.
“Pemerintah bermaksud di provinsi-provinsi dibuat peraturan daerahnya agar ada payung hukum. Tapi, tidak bikin (perda) itu,” ucap pendiri Rumah Dunia di Serang, Banten itu.
“Penghakiman terhadap budaya masyarakat rendah harus di balik sekarang. Jangan-jangan yang enggak suka baca itu pejabat publik di daerah-daerah.”
Menurut Heri, keberadaan aturan turunan dari UU 3/2017 sangat penting. Dengan terbitnya perda, jelas dia, penulis menjadi terlindungi.
“Dia (penulis) semangat nulis buku karena ada anggarannya. Mungkin nanti ada investor juga untuk membuka percetakan di masing-masing daerah,” tuturnya.
Di sisi lain, menurut Heri, pemerintah lewat Perpusnas RI berupaya memberi bantuan dana senilai Rp10 miliar yang diambil dari porsi anggaran alokasi khusus. Uang sebesar itu disalurkan ke kabupaten atau kota untuk membuat perpustakaan daerah.
“Selain ada perpustakaan fisik, sekarang ada perpustakaan digital,” ucapnya.
“Perpusnas membuat e-pusnas, masyarakat daerah bisa akses.”
Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.