Kegembiraan saya bertepuk sebelah tangan. Skeptisisme mereka didasari fakta masih banyaknya sejumlah paradoks dalam kehidupan politik. Salah satunya peran politisi dan intelektual.
Idealnya, politisi dan intelektual itu punya tugas serupa, yakni menjaga kewarasan publik. Jika kewarasan publik terjaga, kehidupan demokratis, adil, dan maju bukanlah perkara yang sulit untuk digapai.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Namun, yang terjadi justru sebaliknya: politisi kerap bertindak pragmatis sehingga jauh dari nalar waras publik, pun intelektual. Banyak intelektual justru ‘menyeberang’ jalan menjadi politisi yang tak kalah pragmatis dan jauh dari tugas penting merawat kewarasan publik.
Saya menahan diri untuk mendebat postulat itu. Pada titik ini, penting untuk ditengok kembali peringatan penting ilmuwan sosial Pierre Felix Bourdieu.
Filsuf Prancis itu secara lugas menyerukan agar politisi berperilaku bak ilmuwan dan terlibat dalam perdebatan ilmiah berbasiskan fakta dan bukti. Ini penting, tandas Bourdieu, agar kebijakan yang diambil tidak semata karena pertimbangan politis dan subjektivitas kepentingan yang bisa membahayakan kehidupan publik.
Intinya, kebijakan publik mesti selaras dengan nalar publik. Bukan sebaliknya, tidak nyambung dengan nalar, kehendak, serta kebutuhan publik.
Jangan sampai kebijakan yang dihasilkan, misalnya, ke arah selatan padahal publik ingin ke utara. Itu seperti menggaruk kepala untuk gatal di kaki. Sangat tidak nyambung.
Itulah mengapa Tuan Bourdieu menekankan pentingnya politisi ‘bermetamorfosis’ menjadi ilmuwan. Namun, ironisnya ada paradoks dalam kehidupan kekinian.
Peraih Nobel bidang ekonomi Joseph Stiglitz menandai kerapnya muncul situasi paradoks bahwa para ilmuwan atau intelektual justru berperilaku bak politisi. Stiglitz mendasarkan tengaranya itu pada saat para ilmuwan dan intelektual itu terlibat dalam proses pembuatan rekomendasi kebijakan.
Argumen-argumen mereka lebih didominasi politisasi,…
Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.