Membangun Integritas Karyawan, Mulai Dari Mana?

Membangun Integritas Karyawan, Mulai Dari Mana?

Oleh: Ricky Virona Martono – Core Faculty PPM School of Management

Membangun Integritas Karyawan, Mulai Dari Mana?
Ricky Virona Martono

Jika ada rumah seorang warga kemalingan seekor ayam, bukan berarti seluruh rumah warga dalam satu RW harus dijaga oleh pihak keamanan.

Di Indonesia, pegawai Ditjen Bea Cukai dan Pimpinan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menandatangani Pakta Integritas agar menjalankan tugas sebaik-baiknya dalam melayani stakeholder. Di sini jelas bahwa mereka mengelola dan menjaga uang masyarakat yang dibayarkan kepada Negara. Di sisi lain, kesejahteraan karyawan Ditjen Bea Cukai dan KPK ditingkatkan agar mereka sendiri tidak lagi mencari peluang mengambil uang rakyat karena alasan kesejahteraan yang minim.

Kebanyakan perusahaan sebenarnya tidak menuntut integritas karyawan melalui sebuah Pakta, apalagi bermaterai, namun cukup dengan gentlemen agreement bahwa perusahaan dan karyawan menjalankan Peraturan Perusahaan, serta menunjukkan sikap yang komitmen terhadap integritas.

Langkah awal menumbuhkan integritas karyawan adalah dari pihak manajemen puncak yang menunjukkan integritas dan kepedulian kepada karyawan, apalagi untuk isu-isu yang sering dikeluhkan karyawan, misalnya isu terkait remunerasi, ataupun isu penangguhan peminjaman fasilitas aset yang mendukung pekerjaan, laptop misalnya.

Menurut Umar Kasim (2014), dengan dasar UU no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perusahaan wajib menyediakan peralatan kerja (termasuk laptop) bagi karyawan. Bagaimana mungkin perusahaan tidak meminjamkannya ketika karyawan membutuhkan untuk bekerja? Apakah artinya karyawan harus mengadakan sendiri laptop tersebut?

Jika perusahaan tidak menyediakan peralatan kerja bagi karyawan berarti perusahaan sendiri sudah melanggar gentlemen agreement, yaitu tidak menjalankan UU Ketenagakerjaan. Jika level tertinggi terlihat tidak peduli dengan kesejahteraan karyawan yang sudah bekerja sangat maksimal, jika level tertinggi tidak menyediakan peralatan kerja bagi karyawan, maka perusahaan pun tidak berhak menuntut integritas dari karyawan.

Ketika perusahaan ingin integritas dijalankan, namun level teratas tidak menunjukkan kapabilitasnya, maka surat perjanjian Pakta Integritas seperti yang telah diterapkan oleh KPK RI akan dipandang sebagai sebuah paksaan, tekanan, dan ketidakpedulian.

Selain KPK dan Ditjen Bea Cukai yang menjaga uang rakyat, kemungkinan lain perusahaan menerapkan Pakta Integritas adalah pada kondisi munculnya penyelewengan oleh karyawan yang merugikan perusahaan.

Menurut Pasal 56 PP no 35 tahun 2021, Perusahaan berhak mem-PHK karyawan yang merugikan perusahaan karena hal ini dipandang sebagai pidana, dan perusahaan tidak wajib memberi pesangon kepada karyawan yang di-PHK karena pidana.

Setelah karyawan yang bermasalah tadi keluar dari Perusahaan, maka langkah selanjutnya adalah perusahaan memperbaiki tata kelola dan sistem kontrol manajemen dan keuangannya. Namun jika kemudian Perusahaan menuntut integritas dari karyawan yang tidak bermasalah dan masih bekerja baik di perusahaan melalui sebuah perjanjian bermaterai, sudah jelas akan menurunkan motivasi dan loyalitas karyawan.

Bagaimana mungkin ketika karyawan bermasalah sudah keluar dari sistem, dan karyawan yang masih ada di dalam sistem sudah melakukan berbagai perbaikan tapi malah dituntut berintegritas? Usaha karyawan memperbaiki sistem pun sudah menunjukkan komitmen mereka bagi perusahaan. Jika masih dituntut integritasnya berarti dua hal yang muncul.

Pertama, menimbulkan kesan bahwa karyawan yang masih bekerja baik di dalam perusahaan harus ikut menanggung kesalahan yang dibuat oleh karyawan yang sudah keluar dari perusahaan. Kedua, karyawan yang masih bekerja baik di perusahaan dan tidak bermasalah dituntut agar tidak melakukan kesalahan yang tidak pernah dilakukannya.

Seharusnya, mereka yang keluar dari sistem yang dituntut berintegritas, bukan karyawan yang masih ada di dalam perusahaan. Yang paling penting adalah organisasi dan level teratas menunjukkan integritas dan kepedulian pada karyawan. Jika ada satu atau dua karyawan tidak memiliki integritas, ini tidak berarti membuat organisasi dan karyawan lain menjadi ikut tidak berintegritas.

Tindakan corrective yang ekstrem dari level tertinggi dalam menyelesaikan masalah dan mencegah masalah berulang sebenarnya menunjukkan wawasan mereka, bukan menunjukkan integritas karyawan yang buruk.

Jangan heran jika absennya gentlemen agreement dan menurunkan loyalitas karyawan ini berdampak pada banyaknya karyawan generasi muda yang berniat meninggalkan perusahaan dengan sudah aktif mengirim resume dirinya ke berbagai perusahaan lain.

Selamat berefleksi!


Artikel ini bersumber dari swa.co.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *