Sama seperti Adi, Hendri juga dapat upah harian yang disesuaikan dengan setoran. Sehari, ia bisa menyetor Rp100.000-Rp120.000. Sekali putar, ongkosnya Rp3.000. Ia menyebut, perubahan fungsi odong-odong dari hiburan menjadi “angkot” terjadi usai penggusuran.
“Awalnya buat hiburan anak-anak. Enggak keluar jalan (raya). Mungkin warga capek, akhirnya (odong-odong) muterin depan pintu gerbang (rusunawa),” tutur Hendri.
Jika ada warga yang ingin naik hanya sebagai hiburan, bukan aktivitas sehari-hari, kata Hendri biasanya hanya sore hari. “Paling buat muter dari sini (Jatinegara) ke Matraman,” ucapnya.
Cukup banyak odong-odong yang melintas di Jalan Raya Jatinegara Barat menuju Jalan Inspeksi Kali Ciliwung. Kira-kira, dalam 20 menit odong-odong yang menggunakan mobil atau sepeda motor lewat.
Di Jalan Matraman Raya, Jakarta Timur, odong-odong yang menggunakan mobil maupun sepeda motor juga jamak terlihat. Mobil dan sepeda motor odong-odong itu biasanya masuk ke beberapa jalan kecil di sana.
Sekitar 30 menit, melintas empat mobil atau sepeda motor odong-odong. Desainnya dibuat semenarik mungkin, dicat warna cerah. Odong-odong yang menggunakan sepeda motor mirip kereta, bisa menampung delapan penumpang dengan setiap kursi gandengan diisi dua orang. Sedangkan yang berbentuk mobil bisa mengangkut lebih dari 10 orang. Rata-rata penumpangnya adalah ibu-ibu dan anak-anak.
Meski keberadaannya dianggap membantu, baik untuk aktivitas maupun hiburan, namun ada pula yang menganggap odong-odong di jalan raya tak layak. Seorang karyawan yang berkantor di Jakarta Pusat, Irfa, menganggap aneh ada odong-odong di jalan raya.
Setiap berangkat dan pulang kerja, warga Bekasi, Jawa Barat itu menggunakan sepeda motor. Ia melintas Jalan Matraman Raya dan Jalan Raya Jatinegara Barat.
“Kita tahu sendirilah gimana kondisi odong-odong yang kebanyakkan enggak layak dari sisi keamanan,” ujarnya perempuan berusia 26 tahun itu di Jalan Matraman Raya, Jakarta Timur, Selasa (2/8).
Namun, ia merasa tak terganggu dengan keberadaan odong-odong di jalan raya. Sebab, kendaraan yang sudah dimodifikasi itu tak berhenti sembarangan seperti angkot.
“Justru lebih ganggu mikrolet karena kebiasaannya ngetem di pinggir jalan yang sempit,” katanya.
Eksistensi odong-odong yang beroperasi di jalan raya menjadi sorotan usai terjadi kecelakaan maut mobil odong-odong tertabrak kereta di perlintasan tanpa palang pintu di Desa Silebu, Kabupaten Serang, Banten pada Selasa (26/7). Peristiwa nahas itu menyebabkan 10 penumpang odong-odong tewas dan 23 orang lainnya luka-luka.
Beberapa hari usai kecelakaan di Kabupaten Serang, Banten, Korlantas Polri melarang odong-odong beroperasi di jalan raya. Dirgakkum Korlantas Polri, Brigjen Pol Aan Suhanan dalam keterangannya yang diterima Alinea.id, Minggu (31/7) mengatakan, odong-odong yang merupakan modifikasi kendaraan melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan.
Aan menyampaikan, ada beberapa metode melakukan pencegahan dan penegakan hukum. Pencegahan dilakukan dengan memberi surat imbauan kepada pemilik odong-odong dan bengkel. Pemilik bengkel dilarang menjual suku cadang yang tak sesuai standar keamanan. Adapun untuk pemilik odong-odong diedukasi tentang bahaya rancang bangun kendaraan bermotor.
Sedangkan penegakan hukum dilakukan dengan menggelar razia rutin. Hukumannya berupa peringatan, penyitaan, atau tilang.
Adi dan Hendri sudah mengetahui kalau odong-odong dilarang melintas di jalan raya. Tetapi Adi berharap, kebijakan pelarangan odong-odong itu disertai solusi.
“Kita kan punya keluarga. Kasihan kan? Kita punya anak, kontrak rumah,” ucap Adi.
Menurut Hendri, pelarangan odong-odong di kawasan yang dilintasinya sulit dilakukan. Pasalnya, kendaraan itu memang ada karena kebutuhan warga.
“Kalau lagi ada yang meninggal kadang sewa (odong-odong), buat hajatan juga,” ucapnya.
Aturan yang dilanggar
Menurut sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Habdy Lubis, pemilihan odong-odong sebagai hiburan tak lepas dari konteks psikologis sosial masyarakat menengah ke bawah, yang punya tingkat stres tinggi karena tekanan ekonomi dan lingkungan tempat tinggal yang terbatas.
“Jadi boleh dibilang, sebetulnya odong-odong ini inisiatif dari kelompok itu sendiri untuk memberikan hiburan yang murah dan terjangkau,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (2/8).
“Yang disasar terutama adalah anak-anak dan ibu-ibu. Ibu-ibu ini kan tingkat stresnya lebih tinggi. Di rumah, enggak ke mana-mana.”
Terkait keselamatan, menurut Rissalwan, tak ada kekhawatiran bagi mereka. Karena pengetahuan masyarakat menengah ke bawah terhadap bahaya tak setara dengan kelompok menengah ke atas.
“Mungkin kalau menengah ke atas melihat itu mobil (odong-odong) tidak ada izinnya, sudah tua, cuma dicat, tapi kalau bagi mereka (masyarakat menengah ke bawah), saya kira tidak seperti itu,” ucapnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan, odong-odong dipilih sebagai hiburan lantaran kendaraan tersebut masuk ke permukiman padat. Tidak hanya di Jakarta, tetapi juga menyasar daerah pinggiran Ibu Kota. Walau risiko keselamatan penumpang odong-odong sangat besar, namun Rissalwan menilai, sebaiknya tak dilarang karena dibutuhkan warga sebagai hiburan.
“Tinggal sekarang, pemerintah membantu memastikan aspek keamanannya,” kata dia.
“Kalau misalnya kendaraan umum itu kan diberikan semacam kir (uji kendaraan bermotor). Kalau ini, harusnya diberilah semacam kir khusus kendaraan hiburan misalnya.”
Sementara itu, pengamat transportasi Djoko Setijowarno menerangkan, kendaraan umum—baik angkutan orang maupun barang—harus melewati uji tipe. Sesudah dinyatakan lulus, kendaraan bakal mengantongi Sertifikat Registrasi Uji Tipe (SRUT) dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan.
Setelah ada SRUT, baru bisa ke kepolisian untuk mengurus STNK dan nomor kendaraan. Setiap enam bulan sekali, kendaraan umum harus pula melakukan uji kelayakan kendaraan atau kir.
“Itu harus dilakukan. Kalau enggak, ada sanksinya Pasal 277 UU LLAJ,” kata Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat itu, Selasa (2/8).
Pasal 277 UU LLAJ menyebut, setiap orang yang memasukkan kendaraan bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan ke dalam wilayah RI, membuat, merakit, atau memodifikasi kendaraan bermotor yang menyebabkan perubahan tipe, kereta gandengan, kereta tempelan, dan kendaraan khusus yang dioperasikan di dalam negeri yang tidak memenuhi kewajiban uji tipe dipidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp24 juta.
Kendaraan odong-odong, lanjut Djoko, tidak melakukan tahapan tadi. Maka, otomatis tak punya SRUT, STNK, dan pelat nomor kendaraan. Hal itu membuat odong-odong tak memenuhi syarat keselamatan.
Di samping itu, sopir odong-odong juga tidak memiliki SIM. Sebab, tak diketahui SIM kendaraan tersebut masuk kategori apa.
Di sisi lain, odong-odong berkembang di jalanan tak lepas dari adanya pembiaran dan jumlah angkutan umum yang berkurang. “Bahkan di Solo (ada) odong-odong listrik. Saya protes itu,” tuturnya.
Menurut Djoko, odong-odong yang melintas di jalan raya harus ditindak secara konsisten. Penindakan, kata Djoko, harus pula berlaku untuk pabrikan atau bengkel.
“Memang jalannya pelan-pelan. Namun, kita enggak tahu kan kalau misalnya diseruduk (kendaraan lain). Ada korban bagaimana? Itu korban sebenarnya tidak berhak dapat asuransi, lho,” ucapnya.
Secara aturan, tutur Djoko, korban kecelakaan penumpang odong-odong tak dapat asuransi karena tak bayar. Kondisi itu berbeda dengan korban kecelakaan angkutan umum lain.
“Karena di (aturan) asuransinya disebutkan kalau perjalanan kurang dari 60 kilometer dapat asuransi, tapi tidak termasuk odong-odong karena tadi, odong-odong tidak (ada) SRUT (dan) STNK,” ujarnya.
“Itu perlu diketahui oleh umum. Kita harus fair saja. Kalau saya lebih bicara pada aturan, kecuali aturan kita boleh.”
Meski demikian, Djoko tak mempermasalahkan odong-odong yang beroperasi di jalan kampung. Kendaraan itu juga masih bisa digunakan di tempat wisata yang tertutup, semisal dalam kawasan Candi Borobudur atau Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
“Tapi, kalau masuk ke jalan raya, aduh…,” ujarnya.
Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.