Koalisi menilai, meski penggunaan kekerasan dan senjata api tidak dapat dihindarkan, aparat penegak hukum harus mengendalikan sekaligus mencegah dengan bertindak secara proporsional berdasarkan situasi dan kondisi lapangan.
Hal ini disebabkan penyalahgunaan kekerasan dan senjata api dapat menimbulkan masalah bagi petugas tersebut, terlebih jika mengakibatkan kematian. Penyalahgunaan kewenangan ini mengakibatkan pelanggaran pidana, sekaligus pelanggaran atas harkat dan martabat manusia.
Selain itu, koalisi menilai institusi kepolisian minim pengawasan dan kontrol sehingga berujung pada pelanggaran HAM dan tindakan sewenang-wenang lainnya. Ini dilihat sebagai problem yang mengakar di tubuh institusi Polri.
“Dalam problem yang sudah sangat sistemik dan struktural di tubuh kepolisian ini, maka Koalisi meminta Presiden dan DPR untuk menjadikan kasus ini (kematian Brigadir J) sebagai catatan tersendiri bagi perlunya sebuah mekanisme akuntabilitas pemeriksaan yang efektif dan terbuka bagi aparat Polri yang melanggar,” jelasnya.
Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak agar kepolisian dapat bekerja secara profesional, akuntabel dan transparan. Sebab, reformasi kepolisian di level instrumental dan kultural harus dapat menempatkan institusi kepolisian untuk bekerja dalam koridor prinsip negara hukum.
Penghormatan atas hak asasi manusia dalam menangani masalah hukum yang terjadi, penting untuk diperhatikan agar tidak terjadi praktik kekerasan yang berlebihan. Dalam konteks tersebut, penuntasan kasus baku tembak antarpersonel polisi yang menewaskan Brigadir J adalah bagian dari ujian dari proses reformasi kepolisian itu sendiri.
Untuk diketahui, Koalisi Masyarakat Sipil menggelar konferensi pers bertajuk Berkaca Kasus Polisi Tembak Polisi: Momentum Perbaikan Polri di Kantor ICW, Jakarta Selatan, Kamis (28/7). Konferensi ini juga berkaitan dengan kasus baku tembak di rumah dinas eks Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo yang menewaskan Brigadir J.
Konferensi pers tersebut dihadiri oleh beberapa anggota Koalisi Masyarakat Sipil sebagai pembicara, di antaranya Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Direktur ICJR Erasmus Napitupulu, Koordinator Divisi Hukum ICW Lalola Easter, Peneliti Senior Imparsial Al Araf, Ketua PBHI Julius Ibrani, dan Direktur HRWG Daniel Awigra.
Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.