SURYA.co.id, SURABAYA – Majelis Sastra Urban menggelar diskusi dan peluncuran novel berjudul Anak Gunung karya Eko Darmoko. Acara ini digelar di Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya, Senin (15/8/2022) malam.
Selain menghadirkan Eko Darmoko sebagai penulis novel, dalam acara tersebut juga menghadirkan kritikus sekaligus sastrawan, S Jai, serta dipandu moderator dosen UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, Moh Atikurrahman.
Maman, sapaan akrab Moh Atikurrahman, membuka diskusi dengan menyebutkan bahwa novel Anak Gunung lekat dengan petualangan atau dalam bahasa akademik disebut travel writing. Pernyataan Maman pun diiyakan oleh Eko Darmoko.
“Memang, sejak awal proses penulisan, saya merancang karya ini sebagai novel petualangan. Ada kisah pendakian gunung, sejarah minor, utamanya yang bersinggungan dengan Surabaya, dan tentu saja ada romansa di dalamnya,” papar Eko Darmoko.
Baca juga: Penerbit Pelangi Sastra Terbitkan Novel Eko Darmoko Berjudul Anak Gunung
Baca juga: Bincang Sastra Buku Revolusi Nuklir Karya Eko Darmoko : Lompatan ke Masa Depan dan Kecemasan Manusia
Pernyataan Eko lantas ditanggapi Maman dengan pertanyaan; apakah novel Anak Gunung selaras dengan napas cerpen-cerpen Eko sebelumnya yang mengambil tema besar petualangan atau pengembaraan.
“Tentunya ada keselarasan, tapi karena ini adalah novel maka konfliknya lebih luas dan pelik. Masing-masing tokoh membawa konfliknya, lantas menjadi bagian utuh dalam jalinan plot cerita,” jelas Eko.
Selanjutnya, S Jai memaparkan, bahwa novel Anak Gunung selain menghadirkan petualangan, di dalamnya juga terlihat pengetahuan penulisnya tentang perilaku kebudayaan masyarakat dunia, sejarah, psikologi, musik, sastra, geografis, dan tentu saja eros.
“Eksistensialis juga terlihat pada tokoh utama Ranu, serta pada tokoh-tokoh perempuan yang mandiri dan tegar, khususnya Riri gadis berdarah Jepang-Indonesia. Selain itu, absurditas juga kental mewarnai novel ini,” papar S Jai.
Perihal absurditas, Maman menyinggung kalau novel Anak Gunung senapas dengan novel Rafilus karya Budi Darma yang lekat dengan absurditas.
“Bentuk novel Anak Gunung juga mengingatkan saya pada novel Rafilus, yakni disuguhkan melalui bab per bab. Di dalamnya juga terlihat absurditas. Penyuguhan novel dengan cara bab per bab ini apakah memang gaya dari Eko atau gimana?” Tandas Maman.
“Soal bab per bab, itu memang saya lakukan untuk mempermudah saya dalam proses penulisan novel. Jadi, tiap bab punya kisahnya sendiri, lantas membentuk satu kesatuan yang utuh dari awal kisah hingga akhir kisah. Sedangkan soal absurditas, saya yakin, bahwa dunia selalu diwarnai dengan rutinitas absurd,” ungkap Eko menjawab Maman.
Sekadar diketahui, novel Anak Gunung adalah buku ketiga Eko Darmoko yang diterbitkan Penerbit Pelangi Sastra, 2022. Sebelumnya, Eko menerbitkan kumpulan cerpen Ladang Pembantaian (Pagan Press, 2015) dan Revolusi Nuklir (BasaBasi, 2021).
Kumpulan cerpen Revolusi Nuklir masuk ke dalam 10 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2021. Selain itu, Eko Darmoko juga masuk ke dalam daftar 10 Penulis Emerging Indonesia dalam Ubud Writers and Readers Festival 2022.
Artikel ini bersumber dari surabaya.tribunnews.com.