KPAI Minta Pemerintah Atur Perlindungan Khusus Anak Korban Siber

KPAI Minta Pemerintah Atur Perlindungan Khusus Anak Korban Siber

Jakarta: Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta pemerintah segera merevisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pemerintah dinilai perlu memasukkan poin perlindungan khusus anak korban siber.
 
“Satu komponen yang harus juga diperhatikan adalah implementasi, yang penting mengawal bagaimana ada bangunan baru di norma kita, di kebijakan perlindungan kita, ini harus dikawal dengan baik,” kata Ketua KPAI Susanto dalam diskusi Peringatan Hari Anak Nasional, Sabtu, 23 Juli 2022.
 
KPAI memprediksi kasus-kasus kejahatan siber akan terus meningkat karena kerentanan anak juga semakin tinggi. Survei KPAI mendapati ada 26 persen anak mengakses konten kekerasan melalui gawai mereka.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


“Jika dikaitkan dengan kejahatan digital, kalau anak terlalu sering terpapar dengan dunia kekerasan, peperangan, itu rentan menjadi pelaku bully,” terang dia.
 
Susanto bilang beberapa kajian menyebutkan kepribadian anak terbentuk dari lingkungan, dan lingkungan bisa dibentuk dari manusia. Ia pun menekankan pentingnya peran orang tua dalam mengawasi penggunaan gawai terhadap anak.
 
“Anak setiap hari melihat konten seperti itu. Perlu ditelaah juga nih para orang tua bagaimana pola asuhnya, gim online apa yang dimainkan dan sebagainya,” ujar Susanto.
 

Deputi 4 Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Femmy Eka Putri Kartika menyatakan pencegahan maraknya jenis kejahatan terhadap anak di ruang digital telah diupayakan melalui berbagai regulasi. Ada payung hukum yang melindunginya.
 
Selain UU Perlindungan Anak, kata dia, ada juga UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Kemudian, Perpres Nomor 101 Tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak.
 
“Pemerintah sebetulnya telah hadir. Negara ini nggak kurang-kurang membuat payung hukumnya untuk memastikan anak-anak ini betul-betul terlindungi dari kekerasan. Intinya adalah pencegahan itu dari keluarga, kemudian masyarakat,” ungkap Femmy.
 
Menurut dia, keluarga harus didorong mengedukasi terkait moral, etika dan budaya. Kemudian, membangun kualitas komunikasi kepada anggota keluarga. Selain itu, bisa membangun ikatan emosional.
 
“Karena pada saat ini kondisi sekarang anak-anak merasa banyak orang tua yang tidak mendengarkan mereka. Orang tua tidak mengerti masalah remaja,” tambah Femmy. (Dinda Shabrina)
 

(AGA)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *