Kita semua sama-sama tahu bahwa keutuhan Padi hari ini tidak lepas dari perpecahan yang terjadi medio 2010-2017. Dan kita semua sama-sama tahu bahwa band ini sampai pada titik – yang sayangnya tidak dialami semua band – bahwa kesediaan menerima perbedaan dengan tujuan yang lebih besar adalah lebih penting ketimbang pecah karena mempertahankan ego masing-masing. Terdengar klise, tapi itulah yang membuat 25 tahun Padi terasa begitu indah.
“Kita bukan jebolan (ajang) talenta, kadang kalaupun mereka jago skill belum tentu bisa menyatu menjadi band yang tahan lama. Karena akhirnya semua berbicara soal ego. Kalau kita, sepakat bahwa kita ini bukan kayak saudara, tapi keluarga. Sudah tahu saya seperti apa. Kita sudah tahu, jeroannya. Itu yang menyemangati kita selalu terus bersama,” kata Piyu kepada media, sebelum memulai konser. “Ego kuta ditempa selama 7 tahun vakum itu. Kita menempa ego kita sampai akhirnya 2017 selesai itu,” sambung Yoyo.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Konser dibuka dengan raungan sonik gitar Ari Tri Sosianto. Ari mempertunjukkan kebolehannya memadukan efek gitar dengan kemampuan teknikal yang menghasilkan bunyi-bunyi spacy. Suguhan pembuka penting dalam membangun suasana konser yang terasa sakral. Sekitar dua menit Ari beraksi, sebelum konser resmi dibuka dengan “Bayangkanlah.” Sayangnya, sesi gitar solo Piyu dalam lagu itu terganggu persoalan teknis. Gitar yang dipersiapkan untuk aksi solo gitar di tengah “Bayangkanlah” mati.
Berhubung ini adalah perayaan spesial, tentu pihak penyelenggara berupaya menyuguhkan sesuatu yang bisa jadi pembeda. Hal itu diejawantahkan dengan kehadiran Denny Chasmala Orchestra yang bertugas memberi penyegaran beberapa hit Padi, antara lain “Menanti Keajaiban,” “Harmony,” “Tempat Terakhir,” “Rapuh,” dan tentu saja “Kasih Tak Sampai.” Selain itu, pada sela-sela konser diputar juga video dokumenter berisi retrospeksi perjalanan 25 tahun Padi. Bassist Rindra yang dalam penampilan Padi pada umumnya selalu diam pun dipaksa berbicara dalam momen spesial ini.
“Perjalanan ini masih panjang masih banyak sesuatu yang tertunda yang belum kami persembahkan. Terima kasih Sobat Padi telah merajut, meniti rencana besar,” ujar Rindra malu-malu, setelah “dipaksa” bicara oleh Fadly.
Catatan menarik lainnya dari konser ini adalah penggenapan janji Padi beberapa waktu lalu untuk memainkan nomor-nomor yang jarang atau bahkan belum pernah mereka bawakan secara langsung. Sesi “membawakan lagu yang jarang dimainkan” itu dibuat secara medley dengan urutan “Patah,” “Repihan Hati,” “Menerobos Gelap,” “Beri Aku Arti,” “Lingkaran,” dan “Akhir Dunia.”
Dalam konser dua setengah jam itu, Padi Reborn menutup dengan hit “Sobat.” Sebuah lagu yang menyeret Padi Reborn lebih dalam ke industri musik, sekaligus sebagai penanda awal kesuksesan karier mereka. Usai menuntaskan “Sobat,” para penonton yang enggan pulang karena menantikan encore, dimanjakan dengan dua nomor pamungkas, yaitu “Hitam” dan “Begitu Indah.”
“Kami pertama kali ke luar negeri tahun 2004 ke Jepang. Sampai bandara Narita, saya melihat pesawat yang saya tumpangi besar sekali. Piyu saat itu tanya ke saya, ‘Pernah nggak kepikiran kita band kampus bisa datang dan menginjak Jepang?’ Ini enggak pernah terbayang dalam hidup. Kami adalah band beruntung karena dicintai. Malam ini kita tutup dengan ‘Begitu Indah,'” kisah Fadly mengakhiri konser.
(ASA)
Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.