Great Giant Foods, Tingkatkan Yield Productivity dengan Digitalisasi

Great Giant Foods, Tingkatkan Yield Productivity dengan Digitalisasi

Great Giant Foods, Tingkatkan Yield Productivity dengan Digitalisasi
Tommy Wattimena, CEO Great Giant Foods.

Sebagai perusahaan berbasis agrikultur untuk buah tropis dan tumbuh-tumbuhan, Great Giant Foods (GGF) telah lama menerapkan digitalisasi. Tujuannya, meningkatkan yield productivity berbasis sustainability dan circular economy, dari hulu ke hilir.

Di sisi hulu, penerapan inovasi digital ditargetkan untuk dapat mengoptimasi operasional perusahaan. Yaitu, dengan menurunkan penggunaan bahan bakar fosil sebanyak 30% dan mengurangi penggunaan pupuk sebesar 40%, tetapi sekaligus meningkatkan produktivitas per hektare sebesar 50%.

Di sisi hilir, penerapan inovasi digital akan memungkinkan GGF menjadi perusahaan yang lebih efisien dalam rantai pasok (supply chain). Juga, lebih dekat dengan pelanggan melalui berbagai saluran penjualan daring dan luring.

“Transformasi digital ini sudah dipersiapkan sejak tiga tahun yang lalu dan perusahaan sedang mempersiapkan cetak biru transformasi digital untuk lima tahun ke depan,” kata Tommy Wattimena, CEO Great Giant Foods.

 Tommy menjelaskan, perusahaannya melakukan digitalisasi di bidang precision agriculture dengan menggunakan drone, sensor, dan agriculture intelligence. Di sektor buah-buahan segar, perusahaan ini mengaplikasikan blockchain untuk traceability. Adapun tools, aplikasi, dan solusi yang sudah dikembangkan dalam rangka digitalisasi industri 4.0 ini adalah blockchain, digital precision farming, dan tentunya supporting platform seperti SAP, transportation magement system, dan demand supply planning.

Lalu, bagaimana penahapan tranformasi/digitalisasinya? Apakah agile methodology sudah diterapkan? Menurut Tommy, kalau agriculture tentu mulainya dari plantation, kemudian digitalisasi supply chain, sampai market yang memastikan productivity, cost, dan traceability. terutama kualitas, dan memastikan di dalam kerangka circular economy dan sustainability.

“Transformasi digital bukan hanya semata-mata penerapan/adopsi teknologi digital. Di perusahaan kami, transformasi digital justru dimulai dari mempersiapkan sumber daya (people), process, dan baru kemudian teknologinya,” katanya.

Misalnya, agile methodology, diperkenalkan dan dilatihkan kepada karyawan sejak 2017 atau beberapa tahun sebelum inisiatif transformasi digital mulai diakselerasi. Penerapan digitalisasinya dilakukan oleh tim dari perusahaan ini, belum memakai konsultan.

Untuk proses digitilasiasi, semuanya dimulai dari prototyping. “Get the things right dulu, end to end, baru kami scale up, supaya bisa dilihat hasil dan return-nya,” ujarnya. Yang selalu menjadi tantangan adalah data integrity serta mampuan menganalisis dan menciptakan algoritma yang sesuai sehingga terjadi ritme kerja yang terarah dan semakin terjadi peningkatan

Bicara pencapaian dan target untuk menuntaskan digitalisasi 4.0, menurut Tommy, hampir dibilang di beberapa bidang masih prototyping. Namun, di beberapa bidang lainnya sudah bisa di-scale up. Ada sejumlah inisiatif yang siap untuk di-scale up, misalnya proses digitalisasi packing house buah-buahan segar dan penerapan pallete tracking di warehouse pabrik nanas kaleng.

Dampak digitalisasi di lapangan membantu perusahaan untuk lebih cepat dalam mengambil keputusan, melakukan analisis, dan memprediksi secara lebih akurat, sehingga perusahaan dapat lebih responsif dalam menghadapi perubahan lanskap bisnis dan memenuhi permintaan pelanggan. “Impact digitalisasi terlalu banyak kalau disebutkan satu-satu, but in general, terjadi impact productivity dan cost saving in general serta memudahkan/mempercepat cara bekerja,” ungkapnya.

Ke depan, menurut Tommy, sudah pasti agritech akan semakin maju, terutama di bidang precision agriculture. Karena, pertama, adanya tuntutan konsumen yang menghendaki kualitas produk yang tidak hanya bagus tapi juga harus konsisten dan ingin tahu bagaimana para pengusaha menjaga alam. Kedua, tuntutan sustainability, bahwa para pengusaha tidak hanya mengambil dari alam tapi juga harus menjaga ke depannya (regenerative agriculture).

Ketiga, pengolahan limbah (waste) dari hulu ke hilir sehingga tercipta value di setiap chain (circular economy). “Kami adalah market leader dunia dalam processed pineapple, tentunya kami diharapkan bukan hanya memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, tapi juga memberikan direction/leadership,” kata Tommy. (*)

Dede Suryadi dan Vina Anggita

www.swa.co.id


Artikel ini bersumber dari swa.co.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *