Gelombang PHK Startup: Biaya Operasional, Dana Investor, hingga Pemenuhan Hak Karyawan

Gelombang PHK Startup: Biaya Operasional, Dana Investor, hingga Pemenuhan Hak Karyawan

tribunwarta.com – Menjelang akhir tahun 2022, badai pemutusan hubungan kerja (PHK) terutama di kalangan perusahaan teknologi belum terlihat reda.

Sepanjang tahun, sekurang-kurangnya tercatat 17 perusahaan teknolgi di Indonesia yang merampingkan tim kerjanya dengan balutan aksi PHK massal .

Paling anyar, platform investasi Ajaib melakukan PHK pada 67 karyawannya atas dalih ketidakstabilan ekonomi yang menerpa perusahaan.

Sebelumnya, perusahaan teknologi raksasa PT Goto Gojek Tokopedia Tbk atau GoTo melakukan PHK terhadap 12 persen dari total karyawannya atau sebanyak 1.300 orang.

Sebelum melakukan PHK, kedua perusahaan tersebut juga sepakat untuk memotong gaji dari tiap-tiap founder dan jajaran direksinya.

Pun begitu, nyatanya PHK terhadap karyawan tetap jadi jalan yang diambil perusahaan untuk merampingan tim agar tetap gesit memasuki tahun 2023 nanti.

Lalu apa yang sebenarnya yang menjadi alasan perusahaan berbondong-bondong melakukan PHK sebelum masuk tahun 2023?

SVP Value Creation Alpha JWC Ventures Ricky Chandra mengatakan, salah satu faktor startup banyak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk menekan biaya operasional perusahaan.

Sebab, perusahaan modal ventura itu yakin porsi terbesar biaya operasional perusahaan berasal dari gaji karyawan.

“Karena paling besar itu biasanya opex (operational expenditure) atau biaya operasional. Opex itu paling besarnya adalah dari gaji,” ujarnya kepada wartawan, Jumat (2/12/2022).

Selain untuk gaji karyawan, dalam biaya operasional itu ada juga biaya pemasaran yang cukup besar.

Namun biaya pemasaran ini tentu tidak dapat terlalu ditekan karena dapat menghambat pertumbuhan bisnis. Dus, perusahaan lebih memilih untuk melakukan PHK kepada karyawannya.

Meskipun demikin, Ricky yakin, PHK karyawan startup tidak disebabkan oleh besarnya gaji karyawan. Sebab berdasarkan temuannya, perusahaan startup tidak menonjolkan gaji karyawan, tetapi lebih menjual nilai perusahaan.

“Jadi kalau ditanya apakah gara-gara gaji ini (kinerja startup jadi) ter-block, bukan sih. Jadi bukan gara-gara startup kasih gaji yang terlalu tinggi, bukan,” tegas dia.

Sementara, Praktisi Perbankan Abiwodo mengatakan, masalah PHK masih berkaitan dengan kondisi-kondisi yang terjadi seperti ketegangan politik, pandemi Covid-19, perang, inflasi, kenaikan suku bunga, hingga krisis biaya hidup.

“Sektor teknologi digital juga selama ini mendapat berkah dari pandemi. Tapi, hampir semua startup menyandarkan pertumbuhan perusahaannya dengan arus kas negatif, dan model bisnisnya bergantung kepada dana investor,” kata dia.

Dengan kondisi tersebut, ia bilang, wajar saja bila terjadi pengeluaran modal yang cukup besar untuk operasional, seperti promosi dan pemasaran, untuk meningkatkan pengguna produknya.

“Jika penggunanya banyak, maka nilai bisnisnya meningkat. Nilai sahamnya pun bisa terkerek naik. Pengeluaran besar-besaran untuk promosi dan pemasaran inilah yang sering disebut-sebut ‘bakar duit’. Termasuk berlomba membangun kantor yang keren, membuat mereka yang bekerja di startup digital dijamin betah, bergengsi, plus gaji yang rata-rata menggiurkan,” imbuh dia.

Namun yang menjadi masalah utamanya adalah ketidakpastian global dan naiknya suku bunga berdampak pada perlambatan ekonomi dan lesunya investasi. Hal ini membuat para investor harus menjaga ketahanan modalnya

“Banyak investor bahkan menarik dan menyimpan modalnya. Alhasil, startup digital mau tidak mau harus merevisi model bisnisnya,” tegas dia.

Sementara itu, Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng mengatakan, dampak yang berpotensi terjadi akibat PHK misalnya tingkat pengangguran hingga kemiskinan.

“Fokus Ombudsman adalah dampak dari PHK massal yang belakangan terjadi, ini erat kaitannya dengan problem pengangguran, kemiskinan, dan perlindungan bagi mereka yang terkena PHK,” kata Robert secara virtual, Kamis (1/12/2022).

Robert bilang, pihaknya berupaya untuk memastikan dampak PHK tersebut, seperti jaminan yang diberikan pasca PHK.

Ia juga mengimbau agar pihak yang berwenang seperti Kementerian Ketenagakerjaan bisa memastikan perluasan kesempatan kerja bagi korban PHK tersebut.

“Kemenaker punya kewenangan, dan pemerintah harus memastikan perluasan kesemaptan kerja tercipta, bukan malah pengurangan. Kemudian, jaminan sosial tenaga kerja serta pengawasan di pemerintah daerah dan provinsi yang juga harus tepat,” pungkas dia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *