Ekonom: Utang Era Jokowi Melonjak 189,5%, Jadi Tantangan APBN Kedepan

Ekonom: Utang Era Jokowi Melonjak 189,5%, Jadi Tantangan APBN Kedepan

tribunwarta.com – JAKARTA – Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini menyebut, perkembangan utang pemerintah pusat di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) tahun 2014 hingga November 2022 mengalami lonjakan hingga 189,5%. Beban utang ini akan menjadi tantangan yang berat bagi kepemimpinan Presiden berikutnya.

Didik mengatakan, kenaikan utang pemerintah yang sangat signifikan, kian meningkat saat pandemi Covid-19. Penumpukan utang ini pun diyakininya akan mengkhawatirkan bagi keberlanjutan APBN kedepan.

“Posisi utang tahun 2014 Rp 2.608,78 triliun dan sekarang sampai November 2022 utangnya mencapai Rp 7.554,25 triliun. Itu belasan triliun utang yang diwariskan pada pemimpin mendatang,” ucapnya dalam diskusi Publik Indef, Kamis (5/1/2023).

Sebagaimana diketahui, utang hingga November 2022 tercatat Rp 7.554,25 triliun atau setara dengan 38,65% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Posisi utang tersebut bertambah Rp 57,55 triliun jika dibandingkan dengan posisi utang pada Oktober 2022 yang sebesar Rp 7.496,7 triliun.

Didik mengatakan, lonjakan utang yang sangat tinggi akan berimplikasi pada beban berat yang harus ditanggung oleh APBN di masa depan.

“Implikasinya pada APBN ke depan yang akan habis untuk membayar utang,” katanya.

Lebih lanjut ia mengatakan, sepanjang tahun 2022 pendapatan negara mencapai Rp 2.626,4 triliun atau tumbuh hingga 115,9% dari target sebesar Rp 2.266,2 triliun. Kinerja ini bahkan tumbuh 30,6% (yoy).

Capaian ini tidak terlepas efek positif dari naiknya harga komoditas sehingga mendorong moncernya penerimaan pajak, bea dan cukai hingga PNBP yang melampaui target.

Disisi lain, belanja negara di Desember 2022 tercatat Rp 3.090,8 triliun. Alhasil pemerintah berhasil menekan defisit APBN menjadi sebesar Rp 464,3 triliun atau 2,38% dari PDB, dari proyeksi awal dalam Perpres No. 98/2022 sebesar Rp 840,2 triliun.

“Penerimaan yang tinggi karena dunia runtuh dari kenaikan harga komoditas di pasar global, sehingga mendorong peningkatan penerimaan negara. Namun ini hanya 2-3 tahun dan akan kembali lagi (normal),” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *