tribunwarta.com – Jakarta, CNBC Indonesia – Mayoritas bursa Asia-Pasifik ditutup cerah pada perdagangan Kamis (5/1/2023), mengabaikan beberapa sentimen pasar yang cenderung negatif pada hari ini.
Hanya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang ditutup di zona merah pada hari ini, yakni ambruk 2,34% menjadi 6.653,84.
Sedangkan sisanya ditutup di zona hijau. Indeks Nikkei 225 Jepang menguat 0,4% ke posisi 25.820,8, Hang Seng Hong Kong melonjak 1,25% ke 21.052,17, Shanghai Composite China melesat 1,01% ke 3.155,22, Straits Times Singapura melompat 1,55% ke 3.292,66, ASX 200 Australia naik tipis 0,06% ke 7.063,6, dan KOSPI Korea Selatan menguat 0,38% ke 2.264,65.
Dari China, data aktivitas jasa pada Desember 2022 cenderung membaik meski masih berada di zona kontraksi. Data aktivitas jasa berdasarkan purchasing manager’s index (PMI) versi Caixin dilaporkan naik menjadi 48 per Desember 2022, dari sebelumnya pada November 2022 sebesar 46,7.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya ekspansi.
“Optimisme meningkat secara signifikan,” kata ekonom senior Caixin Insight Group, Wang Zhe, seraya menambahkan bahwa ukuran ekspektasi untuk aktivitas di masa depan naik hampir 4 poin dibandingkan bulan lalu.
“Penyedia jasa menyatakan keyakinan kuat
dalam pemulihan ekonomi setelah pelonggaran langkah-langkah penahanan Covid-19,” tambah Wang.
Sentimen pasar global pada hari ini sejatinya cenderung mengarah negatif, tetapi pelaku pasar di Asia-Pasifik sebagian besar cenderung mengabaikannya.
Sentimen sebagian didorong oleh data inflasi yang menggembirakan dari Eropa, termasuk penurunan indeks harga konsumen (IHK) Prancis yang lebih besar dari perkiraan dan penurunan harga impor Jerman.
Di lain sisi, laporan Pembukaan Pekerjaan dan Perputaran Tenaga Kerja di AS atau JOLT pada November 2022, menunjukkan pasar kerja tetap kuat, yakni mencapai 10,458 juta, lebih tinggi dari perkiraan sebesar 10 juta.
Namun, angka ini lebih rendah dari data sebelumnya yang sebesar 10,512 juta.
Hal ini memperkuat kekhawatiran bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dapat terus menaikkan suku bunga selama pasar tenaga kerja di Negeri Paman Sam masih cukup panas.
Melihat tenaga kerja masih kuat, maka pejabat The Fed erkomitmen untuk memerangi inflasi dan mengharapkan suku bunga yang lebih tinggi tetap berlaku sampai lebih banyak kemajuan dibuat, menurut risalah yang dirilis kemarin dari pertemuan The Fed Desember 2022.
“Peserta umumnya mengamati bahwa sikap kebijakan yang membatasi perlu dipertahankan sampai data yang masuk memberikan keyakinan bahwa inflasi berada pada jalur penurunan yang berkelanjutan hingga 2 persen, yang kemungkinan akan memakan waktu lama,” berdasarkan ringkasan pertemuan.
“Mengingat tingkat inflasi yang terus-menerus dan tidak dapat diterima, beberapa peserta berkomentar bahwa pengalaman sejarah memperingatkan terhadap kebijakan moneter yang melonggarkan sebelum waktunya.”
Pejabat juga mengatakan mereka akan fokus pada data saat mereka bergerak maju dan melihat “kebutuhan untuk mempertahankan fleksibilitas dan opsionalitas” terkait kebijakan.
Risalah mencerminkan sentimen tersebut, mencatat bahwa tidak ada anggota FOMC yang mengharapkan penurunan suku bunga pada tahun 2023.
Dengan sikap agresif dari The Fed tersebut maka risiko resesi ekonomi global makin tinggi. Hal ini juga disampaikan oleh Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF).
Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva mengatakan untuk sebagian besar ekonomi global, 2023 akan menjadi tahun yang sulit karena mesin utama pertumbuhan global yakni AS, Eropa, dan China, semuanya mengalami aktivitas ekonomi yang melemah.
“Tahun baru akan menjadi lebih sulit daripada tahun yang kita tinggalkan. Mengapa? Karena tiga ekonomi besar – AS, UE, dan China – semuanya melambat secara bersamaan,” tutur Georgieva kepada CBS, dikutip Reuters, Senin (2/1/2023).
TIM RISET CNBC INDONESIA