Breaking News: Harga CPO Meroket 6,11% ke MYR 4.046/Ton!

Breaking News: Harga CPO Meroket 6,11% ke MYR 4.046/Ton!

tribunwarta.comJakarta, CNBC Indonesia – Harga minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) di Bursa Malaysia Exchange melesat tajam lebih dari 6% di sesi awal perdagangan Selasa (27/12/2022), setelah ditutup pada perdagangan kemarin untuk memperingati Hari Natal.

Melansir Refinitiv, harga CPO pada sesi awal perdagangan meroket 6,11% ke MYR 4.064/ton pada pukul 09:46 WIB.

Surveyor Kargo Intertek Testing Services melaporkan pada Senin (26/12/2022) bahwa nilai ekspor CPO Malaysia periode 1-25 Desember 2022 turun 0,8% dari 1.272.721 ton menjadi 1.262.147 ton jika dibandingkan dengan periode yang sama bulan sebelumnya.

Seperti diwartakan Reuters, Malaysia yang merupakan produsen kedua terbesar CPO dunia setelah Indonesia, bereaksi mengenai undang-undang terbaru Uni Eropa pada larangan penjualan komoditas terkait deforestasi di 27 negara.

Wakil Perdana Menteri Malaysia dan Menteri Komoditas Fadillah Yusif mengataka bahwa undang-undang tersebut akan mempengaruhi perdagangan CPO Malaysia dan berdampak buruk pada rantai pasokan global.

“Peraturan Produk Bebas Deforestasi adalah tindakan sengaja Eropa untuk memblokir akses pasar, merugikan petani kecil dan melindungi pasar biji minyak dalam negeri yang tidak efisien dan tidak dapat bersaing dengan harga minyak sawit,” katanya dalam sebuah pernyataan dikutip Reuters.

Duta Besar Uni Eropa untuk Malaysia Michalis Rokas pada hari Rabu menanggapi dewan minyak sawit negara mengatakan bahwa klaim larangan minyak sawit tidak benar dan menyesatkan.

“Minyak sawit yang diproduksi secara legal dan bebas deforestasi akan terus ditempatkan di pasar UE,” kata Rokas.

Sejatinya, undang-undang tersebut tidak hanya berimbas pada CPO Malaysia, tetapi juga CPO Indonesia.

Perlu diketahui, Indonesia sudah menurunkan aktivitas deforestasi. KementerianLingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan bahwa angka deforestasi bersih pada 2019-2020 seluas 115.459 hektar, turun sampai 75% dibandingkan dengan tahun 2018-2019 sebesar 462.460 hektar. Data tersebut merupakan data deforestasi Indonesia yang disesuaikan dengan peta rupa bumi terbaru di Kebijakan Satu Peta.

Ruanda Agung Sugardiman, Plt Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Ligkungan (KLHK) mengatakan bahwa pemantauan deforestasi tersebut menggunakan citra satelit Landsat 8 OLI yang disediakan Lapan. Hasilnya, Indonesia memiliki tutupan hutan 95,6 juta hektar atau 50,9% dari daratan, dari luas itu 92,5% atau 88,4 juta hektar di kawasan hutan.

Kalimantan, menempati angka deforestasi tertinggi seluas 41.500 hektar (35%), disusul oleh Nusa Tenggara (21.300 hektar), Sumatera (17.900 hektar), Sulawesi (15.300 hektar), Maluku (10.900 hektar), Papua (8.500 hektar) dan Jawa (34 hektar).

Pencapaian tersebut terus terjaga hingga pada 2021. Berdasarkan hasil pemantauan satelit Satelligence bahwa persentase kehilangan tutupan hutan yang timbul akibat aktivitas kelapa sawit juga turun.

Pendiri sekaligus Direktur Utama Satelligence, Niels Wielaard mengatakan bahwa laju kehilangan tutupan hutan telah menurun drastis hingga 87% jika dibandingkan dengan 2015 yang mencapai 907.513 ha.

Meski angka deforestasi menurun secara signifikan, tapi dengan diberlakukannya undang-undang yang melarang impor produk terkait deforestasi masih akan memberatkan Indonesia. Sebab, Indonesia belum dikatakan bebas akan deforestasi.Permintaan akan CPO berpotensi akan menurun dari Uni Eropa setelah undang-undang tersebut berlaku.

Pada 2021, Indonesia mengimpor CPO sebesar 44,6% dari total impor Uni Eropa senilai US$ 6,4 miliar, yang berarti senilai US$ 2,85 miliar atau setara dengan Rp 44,5 triliun (asumsi kurs Rp 15.630/US$). Dengan begitu, Indonesia berpotensi kehilangan pemasukan sekitar Rp 44,5 triliun.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *