tribunwarta.com – JAKARTA – Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa kinerja ekonomi 2023 akan dijaga tetap kuat, meski dihadapkan pada risiko ketidakpastian global yang masih meningkat. Oleh karena itu, kebijakan fiskal 2023 dirancang untuk optimistis dan tetap waspada.
“Dari kebijakan yang dirancang untuk optimis dan waspada, kita lihat dalam asumsi APBN 2023, salah satunya, pertumbuhan ekonomi walaupun ada down side risk, maka mungkin pertumbuhan ekonomi (2023), mungkin akan lebih rendah dari itu. Tapi kami upayakan untuk capai itu target 5,3%,” ungkap Analis Kebijakan Ahli Madya Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, BKF, Rahadian Zulfandi dalam diskusi virtual, Rabu (28/12/2022).
Rahadian menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Indonesia, berdasarkan sejumlah proyeksi lembaga internasional masih akan berada di kisaran 4,7-5,1%. Proyeksi ini cukup baik dibandingkan proyeksi pertumbuhan ekonomi sejumlah negara dan global yang diprediksi akan melambat.
Menurut Rahadian, ada sejumlah faktor yang membuat pemerintah tetap optimis kinerja ekonomi domestik di tahun depan. Pertama, kasus pandemi yang melandai dan terus membaik, serta pelonggaran restriksi sosial. Kemudian exposure Indonesia terhadap eksternal dinilai relatif moderat.
“Kondisi global engga mendukung (pengaruhi) ekonomi Indonesia yang relatif tertutup, sehingga tidak terlalu kena exposure ke eksternal. Jadi kami masih melihat sumber pertumbuhan ekonomi dari konsumsi dalam negeri,” ucapnya.
Zulfandi menyebut adanya momentum perhelatan pemilu atau tahun politik yang dimulai di tahun depan diyakini akan menjadi katalis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih besar. Lantaran konsumsi lembaga non profit yang melayani rumah tangga (LNPRT) bakal meningkat menjelang pagelaran pemilu.
Konsumsi yang meningkat, juga sejalan dengan kinerja sektor perbankan masih menunjukkan kinerja solid dan well buffered hingga akhir tahun. Terlebih, sektor perbankan menjadi faktor sangat penting dorong pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat dengan penyaluran kredit.
Adapun berdasarkan data yang dipaparkan, pertumbuhan kredit terus meningkat dengan pertumbuhan hampir 12%, dan loan to deposit ratio juga masih rendah sebesar 80% dari kondisi normal sekitar 95%. Bahkan tingkat kecukupan modal perbankan juga menjadi yang tertinggi di kawasan ASEAN disekitar 25%. Dengan demikian masih ada ruang cukup besar di sektor perbankan untuk salurkan kredit.
“Tahun depan aktivitas pemilu tingkatkan konsumsi, dan konsumsi pemerintah akan meningkat. Likuiditas perbankan masih sangat besar dan space salurkan kredit masih sangat besar. Ekspor masih akan tumbuh meski kondisi global agak melemah sebab adanya produk industri hilirisasi sangat bagus,” paparnya.
Meski demikian, ada pula faktor-faktor yang mesti diwaspadai bersama dari dampak perlambatan ekonomi global. Pertama, tekanan pada sisi ekspor, khususnya produk consumer goods. Kedua, tekanan kepada daya ekspansi produksi karena pemulihan penyerapan tenaga kerja, dan tingkat upah tertahan. Selanjutnya dampak penurunan harga komoditas.
“Tahun 2022 harga komoditas sangat tinggi kemudian akan turun dan kita tau komoditas sangat besar pengaruh ke pertumbuhan ekonomi Indonesia dan APBN, jika komoditas turun maka akan ada dampak bagi ekonomi Indonesia,” tuturnya.
Risiko lainnya yang patut diwaspadai, yakni gejolak nilai tukar rupiah dan sistem keuangan. Gejolak ini disebabkan oleh pengetatan kebijakan moneter, dolar yang sangat kuat, dan likuiditas yang ketat. Hal ini berdampak pada kenaikan cost of fund dan inflasi serta biaya produksi berpotensi meningkat.
“Jadi tarik menarik upside risk dan downside risk akan sangat menentukan bagaimana kinerja ekonomi Indonesia. Kita optimistis kondisi sampai saat ini masih baik, dari berbagai indikator tapi kedepan ada beberapa risiko yang perlu diwaspadai,” tutupnya.