“CPO kita 40 persen share dunia dari Indonesia. Bikin harga dong. Masak kita lihat Rotterdam (Belanda),” katanya dalam Indonesia Tin Conference 2022 dikutip dari Antara, Rabu, 19 Oktober 2022.
Didid menilai kasus kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng yang sempat terjadi beberapa waktu lalu menyadarkan pemerintah bahwa meski merupakan negara produsen CPO terbesar dunia, harga komoditas tersebut masih mengacu pada pada bursa di Rotterdam dan Malaysia.
“Yang menggelitik kami di Bappebti, kasus minyak goreng kemarin itu ternyata kita masih mengacu harga dunia, kita tidak punya,” katanya.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Didid mengatakan pihaknya akan berdiskusi perihal tata kelola dan tata niaga CPO dengan pemangku kepentingan terkait, mulai dari K/L, hingga pelaku usaha terkait hal yang perlu dilakukan agar komoditas CPO bisa diperdagangkan di bursa berjangka.
Menurutnya, transaksi di bursa berjangka akan membuat tata kelola komoditas bisa lebih transparan, mulai dari pembentukan harga hingga volume perdagangan.
“Ketika sudah transparan, kebijakan lainnya bisa diambil. Apakah mau DMO, DPO, itu nanti dari situ. Lebih mudah,” katanya.
Didid mencontohkan Indonesia saat ini telah melaksanakan pengaturan ekspor timah murni batangan melalui bursa berjangka. Hasilnya, timah kini menjadi satu-satunya komoditas yang menghasilkan price reference untuk harga timah dunia.
“Kami apresiasi kita sudah jadi juragan timah di negeri sendiri,” katanya.
Ekspor timah murni batangan oleh bursa berjangka diharapkan dapat memanfaatkan hasil tambang yang terbatas demi mendukung kelestarian lingkungan, peningkatan mutu dan nilai tambah timah murni batangan ekspor serta tujuan akhirnya adalah transparansi harga demi mewujudkan kemandirian dalam menentukan harga acuan.
Hal itulah yang ingin dilakukan pula pada komoditas CPO dan komoditas lainnya di Indonesia agar bisa menjadi acuan dunia karena Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya tersebut.
(SAW)
Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.