Sejak PT Astra International Tbk., induk perusahaan PT Astra Agro Lestari Tbk. (AAL), menyiapkan diri untuk menuju Industri 4.0 di 2017, AAL juga mulai bergerak untuk mengadopsinya sesuai dengan kondisi perusahaan.
“Soal penggunaan teknologi untuk AAL harus kami pertimbangkan dengan bijak, karena founder kami sejak awal sudah mengatakan bahwa kami harus sejahtera bersama bangsa,” kata Santosa, Direktur Utama PT Astra Agro Lestari Tbk.
Di sektor agri ini, menurutnya, ada sekitar 34 ribu orang yang bekerja sebagai tenaga terdidik. Ini berbeda dengan tenaga terlatih yang jumlahnya lebih banyak lagi. Tenaga terlatih adalah mereka yang tidak terdidik (tidak punya pendidikan formal) tetapi terlatih.
Nah, lapangan kerja untuk mereka yang tidak terdidik tetapi terlatih ini sebenarnya tidak banyak. Salah satu pilihannya adalah sektor perkebunan. “Jadi, kalau kami sekaligus melakukan otomatisasi semuanya saat ini, mereka berpeluang kehilangan pekerjaan,” ujarnya.
Untuk itu, pihaknya selalu memperhatikan kondisi tersebut. “Tugas utama kami selain mengejar keuntungan (profitability), juga harus balancing dengan misi utama perusahaan ini didirikan, yaitu memberikan kesejahteraan kepada semua masyarakat di Indonesia. Tidak hanya pemegang saham atau karyawan, tetapi juga masyarakat sekitar,” Santosa menjelaskan.
Nah, karena itulah, dalam penerapan teknologi, AAL tidak bisa serta-merta mengganti manusia dengan robot atau teknologi, selain juga karena teknologi mungkin masih mahal. Selama perbedaan biaya manual dibandingkan teknologi tidak terlalu signifikan, perusahaan ini masih akan memilih menggunakan tenaga manusia.
“Walaupun kami juga sadar, di Indonesia ini akses pendidikan makin lama semakin membaik sehingga ke depan makin banyak jumlah tenaga kerja terdidik. Mereka pasti tidak akan mau bekerja untuk pekerjaan rendah seperti buruh kebun. Nah, itu berarti ke depan kami pasti akan kesulitan juga mendapatkan tenaga kerja seperti itu,” ungkapnya.
Dengan demikian, penggunaan teknologi di industri agri ke depannya akan jadi solusi untuk isu tenaga kerja. “Jadi, saya melihatnya menggunakan teknologi apa pun itu, apakah robotic dan atau digital, adalah untuk meningkatkan sophistication capability yang ada di industri kami nantinya,” kata Santosa.
Di sisi lain, AAL pun sudah menggunakan teknologi. Salah satu contohnya, untuk mengidentifikasi titik api di kebun. Dulu, menjelang musim kemarau, perusahaan memiliki tim api yang bertugas mencari titik-titik api. Tim ini naik motor keliling kebun, tetapi kemampuannya dalam menjelajah perkebunan terbatas.
Saat ini, AAL bisa mendeteksi titik api lebih dini dengan menggunakan drone yang lebih akurat. Memasuki musim kemarau, pasti ada saja titik api yang akan aktif, sehingga pihaknya harus terlebih dulu mendeteksinya. Drone yang digunakan adalah industrial drone, bukan drone yang biasa dipakai kebanyakan orang di tempat wisata.
Industrial drone memiliki kemampuan melihat dengan jangkauan sampai 50 km. Tentunya, AAL juga memiliki tim ahli yang bisa melihat titik-titik api ini. Kemudian, pihaknya bekerjasama dengan petugas yang bertanggung jawab dalam bidang ini sehingga bisa ditangani secepatnya.
Teknologi lainnya yang sudah digunakan AAL adalah teknologi sensor. Dulu, sebelum ada teknologi sensor ini, ada tenaga kerja yang harus naik ke tangki-tangki CPO yang tingginya 15 meter dengan membawa tiang ukur suhu.
Sekarang, sudah tidak ada tenaga kerja seperti itu karena telah diganti dengan memakai teknologi sensor. Dengan demikian, setiap saat pihaknya bisa tahu hasil produksi CPO yang masuk ke tangki, sehingga bisa siap disalurkan ke kapal. “Itu teknologi dasarnya adalah IoT yang kami pakai,” Santosa menginformasikan.
Diakuinya, belum semuanya diganti dengan teknologi terbaru. Misalnya, AAL masih menggunakan lori (kereta pengangkut CPO). Namun, untuk penanaman, perawatan, dan pemupukan, sudah menerapkan mekanisasi. Sebelumnya, sampai 2010, perusahaan masih memakai tenaga manusia. Setelah ada mekanisasi, jadi lebih efektif dan semua bagian kebun mendapatkan pupuk secara merata. “Jadi, ini kombinasi, kami belum fully 4.0,” ujarnya.
Namun, menurut Santosa, perusahaannya menuju kebun 4.0, karena kalau dibandingkan dengan kebun lain, saat ini kebunnya termasuk lebih maju. “Tetapi, kami tetap harus menyiapkan diri, karena industri ini sudah pasti akan ikut dalam perubahan. Kami sedang siapkan juga tim inovasi agribisnis. Ini salah satu persiapan kami untuk hadapi masa depan agriindustri,” ungkapnya.
AAL juga baru mulai menggunakan bibit unggul hasil riset tim R&D internalnya. Riset bibit ini dimulai hampir 10 tahun lalu dan sekarang sudah dirilis tiga varietas yang mulai ditanam tahun ini, dengan masa panen kira-kira tujuh tahun lagi. Bibit unggul ini menjadi bagian dari investasinya di bidang teknologi, khususnya bioteknologi. Spesifikasi bibit unggul ini disesuaikan dengan kebutuhannya dan keunggulan utamanya tetap pada produktivitasnya.
“Jadi, kami tidak hanya menyiapkan teknologi untuk operasional, tetapi juga teknologi pada riset agrikultur. Kami sedang siapkan SDM-nya dan bermitra dengan ahli-ahli dari IPB serta berbagai tenaga ahli,” ungkapnya.
AAL pun sudah memanfaatkan machine learning untuk sensus tanaman guna mengetahui produktivitas setiap pokok pohon. Dulu, untuk sensus tanaman ada beberapa variabel yang harus dipenuhi. Misalnya, tenaga manusia, cuaca, dan alat ukurnya.
Saat ini, itu semua sudah dibuatkan modelling sehingga bisa dijalankan dengan machine learning. Presisinya bisa di atas 90%. Sementara sensus manual yang lama, potensi error-nya cukup besar. Adapun dengan teknologi machine learning, itu berdasakan actual conditions.
Santosa menilai, sebenarnya saat ini posisi sawit Indonesia sudah lebih maju dan tidak boleh ketinggalan lagi. Sepuluh tahun lalu, sawit Indonesia masih ketinggalan dibandingkan Malaysia. Bahkan dulu, untuk bibit unggul, Indonesia masih tergantung pada Malaysia. Sekarang produksi CPO Indonesia sekitar 50 juta ton per tahun, sedangkan Malaysia 20 juta ton. “Karena itu, ke depan teknologi, apakah itu robotic atau digitalisasi, sudah pasti akan jadi solusi,” ia menegaskan.
Digitalisasi di AAL, menurutnya, akan mengarah ke penggunaan data analytics, artificial intelligence (AI), robotics, dan drone. Itu adalah area-area yang sudah diiidentifikasi perusahaan ini. Mengenai roadmap, “Sampai saat ini masih berjalan karena ini kan untuk implementasi di kebun ya, jadi kami harus cari used case-nya,” katanya.
Santosa menjelaskan, untuk adopsi dan implementasi semua teknologi, AAL melakukannya dengan beberapa framework. Pertama, proof of concept. Dengan kerangka kerja ini, implementasi sebuah proyek teknologi baru itu diterapkan di satu site dulu. Prinsipnya, mengikuti tahapan, mulai dari membuat ide, lalu merancang, dan mengimplementasikannya.
“Dari situ kami pelajari apa saja kelebihan dan kekurangannya. Jadi, kalau ditanya, ‘Apakah investasinya besar?’ Iya besar, tetapi bukan yang sekali pukul dan kalau gagal jeblok. Jadi, ada levelling tadi. Proof of concept itu untuk melihat used case teknologinya,” ungkapnya.
Kedua, piloting. Isu-isu operasional apa yang terjadi, kemudian ke atas dalam skala yang luas. Jadi, katanya, kira-kira bisa sampai tiga tahun baru kemudian sebuah teknologi siap diimplementasikan dalam skala besar. Kalau sudah implementasi skala paling atas, itu sudah jelas, tidak mungkin salah dan tidak mungkin rugi. “Dan, selalu bisa kami dapatkan ROI dalam 3-5 tahun,” ucapnya.
Dari semua investasi, Santosa mengganggap yang paling penting itu adalah investasi pada manusianya. Itu yang tidak ternilai dan yang menjadi kunci utama. “Kalau Anda lihat, AAL menjadi satu-satunya perusahaan kelapa sawit yang punya tim data scientist hari ini. Kami ada tim data scientist untuk AI dan data analytics,” katanya tandas. (*)
Dede Suryadi dan Arie Liliyah
www.swa.co.id
Artikel ini bersumber dari swa.co.id.