“Tren inflasi berbagai negara di dunia mengalami kenaikan signifikan akibat krisis pangan dan energi. Amerika Serikat turun ke 8,3 persen, Uni Eropa 9 persen, Inggris 10 persen, dan Jerman 7,9 persen, sedangkan Indonesia di Juli 2022 masih 4,69 persen,” kata Airlangga melalui keterangan tertulis, Senin, 19 September 2022.
Ketum Golkar itu menyebut tren positif ini terlihat dari tingkat kemiskinan di Tanah Air. Termasuk, pengangguran yang menurun dan diiringi situasi sosial masyarakat yang membaik.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
“Neraca perdagangan surplus 28 bulan berturut-turut dan ini menunjukkan bahwa Indonesia dalam penanganan ekonominya berada dalam jalur yang tepat. Di Agustus 2022, neraca perdagangan masih surplus di USD5,76 miliar dan sektor non migas menjadi kunci utama,” ujar Airlangga.
Sementara itu, Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman menyampaikan dengan capaian kuartal II pada 2022 tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia berpeluang mencatatkan angkat di atas 5 persen. “Kalau kami sendiri untuk 2022 masih prediksi ekonomi Indonesia tumbuh di kisaran 5,17 persen,” ujarnya.
Faisal mengungkapkan surplus perdagangan lebih besar dari perkiraan, bahkan terbesar dalam empat bulan. Surplus perdagangan Indonesia pada 22 Agustus menjadi USD5,76 miliar (vs USD4,22 miliar pada 22 Juli). Pada delapan bulan pertama tahun ini, neraca perdagangan mencatat surplus USD34,92 miliar lebih besar dari surplus pada periode yang sama 2021 sebesar USD20,71 miliar.
“Kami masih melihat bahwa surplus perdagangan cenderung menyempit ke depan. Kami berharap impor dapat mengimbangi ekspor seiring dengan percepatan pemulihan ekonomi domestik,” kata dia.
Faisal juga mengungkapkan perekonomian Indonesia tumbuh lebih kuat daripada yang diperkirakan pada Semester I 2022. Hal itu dipengaruhi aktivitas produksi dan konsumsi yang kuat.
“Ini berarti permintaan impor bahan baku dan barang modal akan lebih kuat mengikuti,” kata dia.
Faisal mencatat neraca transaksi berjalan 2022 berpotensi surplus, 00-0,45 persen dari PDB (vs 0,28 persen dari PDB pada 2021) yang mampu menjaga cadangan devisa dan stabilitas nilai tukar rupiah.
“Selain itu, upaya pemerintah dan Bank Indonesia untuk menerapkan kembali sanksi bagi eksportir yang tidak menempatkan devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri dapat semakin mendukung stabilitas tersebut,” kata dia.
Jaga inflasi
Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Berly Martawardaya, mengatakan Indonesia tidak akan masuk resesi. Namun, akan sulit untuk mempertahankan target pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen.
“Agak berat, katakan tren positif tetapi agak sulit dipertahankan, tetapi bukan resesi ya, saya tidak bilang resesi, untuk di atas 5 lagi akan sulit. Belum kita bicara kemiskinan karena kalau bicara inflasi, biasanya meningkatkan kemiskinan,” kata Berly dihubungi terpisah.
Konflik geo politik antara Ukraina-Rusia diperkirakan terus memanas. Sehingga, memberi ketidakpastian akan harga energi.
“Geo politik ketidakpastian akan meningkat sehingga harga-harga dan inflasi dorongan akan makin tinggi dalam enam bulan ke depan, trennya meningkat,” kata Berly.
Kemudian, dampak dari harga kenaikan BBM akan terasa memengaruhi inflasi. “Karena historikal, kenaikan BBM biasanya inflasi tambahan on top antara 2-3 persen. Challenge pemerintah di lower end jangan dekat tiga atau lebih dari tiga persen inflasinya. Khususnya, transportasi dan sembako bisa enggan ditekan,” kata pria yang juga dosen di Departemen Ilmu Ekonomi–Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UI ini.
Tugas besar pemerintah adalah menjaga harga kebutuhan pokok dan transportasi. Kalau inflasi tinggi maka Bank Indonesia harus ikut menaikkan suku bunga.
“Karena kalau inflasi tinggi nilai rupiah secara riil turun, kalau selisih terlalu jauh dengan dollar atau euro kita ada capital outflow rupiah bakal melemah, BI akan terpaksa untuk menaikkan suku bunga,” ucap Berly.
Salah satu penopang perekonomian Indonesia adalah ekspor. Namun, pendapatan negara dari perdagangan pasti akan berkurang jika negara adidaya mengalami perlambatan.
“Kita lihat tahun ini, sumber pertumbuhan yang besar adalah ekspor, jadi kalau daya beli barat berkurang maka ekspor berkurang dan pertumbuhan kita bisa terpengaruh,” kata Berly.
(JMS)
Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.