Ad Valorem – Definisi, Jenis, dan Perhitungannya

Ad Valorem – Definisi, Jenis, dan Perhitungannya

tribunwarta.com – Dalam berita atau kegiatan ekonomi, Anda pasti sering mendengar istilah Ad Valorem. Apa sebenarnya Ad Valorem itu?

Artikel ini akan membahas definisi dan pengertian mengenai Ad Valorem serta jenis-jenis dan cara perhitungannya.

Ad Valorem

Ketika Anda berkunjung ke restoran atau membeli barang belanjaan di mal, pernahkah Anda memperhatikan bill atau struk pembayaran?

Pada rincian pembayaran pasti terdapat pajak tambahan PPN yang biasanya jumlahnya 10% bukan?

[Baca Juga: Hah? Penjualan Rumah Mewah di Atas Rp30 M Hanya Dikenakan Pajak 1%]

Nah, PPN tersebut adalah sebuah contoh Ad Valorem. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ad Valorem adalah

“Lazim digunakan berkenaan dengan pembebanan pajak impor, yang berarti menurut nilai, tidak menurut timbangan, ukuran, atau satuan; bea ad valorem adalah bea yang ditetapkan menurut nilai (uang), tidak menurut timbangan, ukuran atau satuan, misalnya provisi kredit ditetapkan sebesar 1% dan jumlah yang tercantum dalam perjanjian kredit yang bersangkutan.”

Secara sederhananya, Ad Valorem adalah pajak yang nilainya dihitung berdasarkan angka persentase dari nilai sebuah transaksi atau properti.

Misalnya negara yang mengenakan 10% PPN atau negara yang mengenakan tarif impor sebesar 25% dari nilai harga untuk setiap mobil yang diimpor.

Contoh-contoh Ad Valorem

Terdapat beberapa jenis pajak yang tergabung dalam Ad Valorem, beberapa di antaranya adalah:

    Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

    Pajak Penjualan (PPn): Pajak yang perhitungannya berdasarkan nilai transaksi penjualan yang dikenakan pajak.

    Pajak Bumi dan Bangunan (PBB): Pajak yang perhitungannya berdasarkan nilai properti yang dikenakan pajak berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

    Pajak Warisan: Pajak yang perhitungannya berdasarkan nilai warisan yang dikenakan pajak.

    Pajak Emigrasi: Pajak yang dikenakan kepada emigran atau orang yang meninggalkan negara asalnya untuk menetap ke negara lain.

    Bea Meterai: Di beberapa negara, bea meterai dihitung berdasarkan nilai dokumen yang harus menggunakan meterai.

Perhitungan Ad Valorem

Sesuai dengan definisinya, Ad Valorem adalah pajak yang berprogresif. Semakin mahal harga sebuah produk, semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan. Hal ini berbeda dengan perhitungan tarif spesifik.

Perhitungan Ad Valorem PPN (Pajak Pertambahan Nilai)

Ini adalah salah satu pemungutan pajak yang paling umum diketahui masyarakat.

Pada saat Anda makan di restoran, membeli barang, atau menggunakan sebuah jasa, maka biasanya Anda akan membayar PPN berdasarkan nilai yang Anda dapatkan.

[Baca Juga: Wajib Pajak, Begini Nih Cara Lapor SPT Tahunan Badan]

Perhitungan Ad Valorem untuk kasus ini cukup mudah. Anda hanya perlu mengalikan persentase dengan harga barang.

Sebagai contoh, Anda makan di restoran dengan total makanan dan minuman berjumlah Rp200 ribu, dengan PPN 10% maka Ad Valorem yang harus Anda bayar adalah:

PPN = 10% × Rp200 ribu = Rp20 ribu

Perhitungan Tarif (Bea Harga)

Tarif adalah pungutan bea masuk yang dikenakan atas barang impor yang masuk untuk dipakai/dikonsumsi habis di dalam negeri. Dalam pelaksanaannya, sistem atau cara pemungutan tarif bea masuk ini salah satunya adalah bea harga.

[Baca Juga: Cara Sederhana Menghitung Denda Pajak Motor yang Telat Bayar!]

Bea Harga (Tarif Ad Valorem) yaitu dimana Besarnya pungutan bea masuk atas barang impor ditentukan oleh tingkat persentase tarif dikalikan harga CIF (Cost, Insurance and Freight) dari barang tersebut, dengan rumusnya yaitu:

BM = % tarif × Harga CIF

Sebagai contoh:

Harga CIF suatu barang A = US$100

Tarif bea masuk = 10%

Kurs atau nilai tukar = Rp15 ribu per dolar AS

Maka tarif Ad Valorem adalah

10 % × US$100 × Rp15.000 = Rp150 ribu

Rencana Pemerintah Indonesia untuk Menaikkan Jenis Tarif Ad Valorem

Pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai yang merupakan turunan UU Nomor 13/1985 tentang Bea Meterai, seluruh dokumen dikenakan tarif tetap.

Dalam pasal tersebut, efek maupun sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang memiliki harga nominal sampai dengan Rp1 juta dikenakan bea meterai dengan tarif sebesar Rp3.000.

Sementara, efek yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp1 juta dikenai bea meterai dengan tarif Rp6.000.

Sedangkan, untuk akta notaris termasuk salinannya dan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap-rangkapnya dikenai tarif Rp6.000.

Namun, menurut Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak (DJP), Irawan, tarif bea meterai saat ini sudah tidak mungkin mengalami kenaikan sebelum adanya revisi UU Bea Meterai.

Dalam UU tersebut, tarif dasar atau batas bawah senilai Rp500 dan Rp1.000 dan berdasarkan UU tersebut, kenaikan hanya bisa dilakukan maksimal enam kali dari tarif dasar.

[Baca Juga: (Norma Pajak) Norma Penghitungan Penghasilan Neto: Apa dan Bagaimana?]

Menurut Irawan, dengan kemampuan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini, perlu ada perombakan tarif.

Menurut Kasubdit Peraturan PPN, Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lain DJP, Oktria Hendrarji, beliau juga melihat bahwa pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat.

Menurut beliau, Indonesia telah masuk G20 dan akan menjadi negara keenam ekonomi terbesar dunia pada tahun 2030. Karena hal itu, akan banyak transaksi keuangan dengan dokumen yang diterbitkan dan bea meterai harus disesuaikan.

Dari pemikiran ini pula, pemerintah menganggap jenis tarif Ad Valorem lebih cocok diterapkan dan jenis tarif sebelumnya akan direvisi dalam revisi UU Bea Meterai tahun ini.

Menurut beliau, sejumlah dokumen yang akan dikenai skema ini, antara lain adalah dokumen yang terkait dengan transaksi pengalihan properti, aset, dan bangunan, transaksi saham, dan surat berharga lainnya.

Namun hingga saat ini, belum ada informasi mengenai besaran persentase tarif. Beliau mengatakan bahwa besaran tarif masih dalam kajian.

Jika tarif Ad Valorem telah dikenakan, maka sebagai contoh jika tarif meterai adalah 1% dan harga satu lembar saham Rp100.000, besaran bea yang dibayar akan menyesuaikan dengan besaran transaksi saham.

Hal yang sama pun pada pengenaan tarif pada properti.

Tentu tidak semua pelaku ekonomi setuju dengan rencana pergantian skema pemungutan bea meterai ini.

[Baca Juga: Pajak Penghasilan Badan Usaha: Jenis dan Penjelasannya]

Menurut Yustinus Prastowo, selaku Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), seharusnya pemerintah hanya menaikkan tarif yang ada tanpa mengubah skema ke Ad Valorem karena sulitnya pengawasan di Indonesia.

Ia menganggap pemerintah hanya perlu membuat tiga lapis tarif, Rp10.000, Rp20.000, dan Rp50.000. Untuk dokumen seperti surat berharga dan saham cukup dikenakan Rp50.000.

Menurutnya, sistem persentase proporsional dan akan cenderung menciptakan perilaku menghindar dan konspiratif dengan notaris PPAT. Beliau juga mengatakan bahwa bea meterai tidak bisa jadi tax credit.

Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus pada pajak penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Terlalu banyak kenaikan tarif dan perombakan bukanlah strategi yang baik untuk menggenjot penerimaan.

Setelah membaca artikel ini, diharapkan Anda lebih mengerti mengenai ketentuan pajak Ad Valorem di Indonesia.

Bagikan artikel ini agar lebih bermanfaat dan berikan komentar Anda di kolom bawah ini.

Sumber Referensi:

    Kurniawan A. Wicaksono. 10 Maret 2015. Jenis Tarif Ad Valorem Bakal Diterapkan Tahun Ini. Ekonomi.bisnis.com – https://bit.ly/2YE40st

    Admin. Mei 2018. Bagaimana Cara Menghitung Bea Harga (Ad Valorem Tariff)? Dictio.id – https://bit.ly/2My8BtM

    Admin. Ad Valorem. Kamus.tokopedia.com – https://bit.ly/31stx9V

Sumber Gambar:

    Perhitungan Pajak – http://bit.ly/2YWpZis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *