News  

Langgam Sunan Kalijaga di Kajian Sayyid Ahmad

Langgam Sunan Kalijaga di Kajian Sayyid Ahmad

Suara.com – Lantunan langgam Sluku Sluku Bathok di pengajian Sayyid Ahmad bin Muhammad Alawi Al-Maliki di Hay Al Rashifah, Mina, Arab Saudi, seketika membuat kami merinding. Kami seperti berada di rumah, Tanah Air kami.

Melalui jalan darat selama sekitar 1,5 jam, kami mengaspal dari Jeddah ke Makkah. Kami menempuh jarak sekitar 90 kilometer hanya untuk satu tujuan: sowan ke ulama besar Sunni yang tinggal di pinggiran Mina, Makkah, Sayyid Ahmad bin Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani.

Sayyid Ahmad bukan orang sembarangan. Dia ikut membesarkan Islam moderat yang menyebarkan kemaslahatan bagi sesama hingga ke Indonesia. Sang ayah, Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani, yang sedo pada 10 Mei 2004, merupakan guru banyak habib dan ulama besar di Indonesia.

Seketika, benak kami bergetar ketika dikabari Kepala Kantor Urusan Haji Nasrullah Jasam bahwa Sayyid Ahmad menerima undangan kami. Dia mau meluangkan waktu untuk menerima tamu di siang hari. Momen yang jarang terjadi. Tanpa pikir panjang, kami pun bergegas ke pinggiran Mina.

Baca Juga:
Tips Cegah Masalah Pernapasan pada Jemaah Haji, Jangan Kendor Pakai Masker

Kajian Sayyid Ahmad di Mina Arab Saudi. [Dok MCH 2022]
Kajian Sayyid Ahmad di Mina Arab Saudi. [Dok MCH 2022]

Pesantren Al Maliki yang dikelola Sayyid Ahmad siang itu sepi. Ketika memasuki gerbang, kami disambut dengan hangat. Tampak, beberapa santri, yang umumnya berasal dari Indonesia, berseliweran di halaman pesantren. Cuaca panas tak menghalangi mobilitas mereka.

Kami dipersilahkan menuju ke sebuah ruangan yang berada di sisi kanan bangunan. Kami melewati rak penuh dengan buku. Ketika memasuki ruangan, hawa dingin langsung menumpas panasnya cuaca di luar.

Ruangan itu terasa adem. Beralaskan karpet berwarna hijau, segelintir santri tampak berada di ruangan itu. Mereka terdengar melantunkan ayat-ayat suci Alquran. Beberapa di antaranya merapikan buku-buku dan ruangan. Terlihat pula tumpukan buku kajian.

Foto lawas bangunan Masjidil Haram dan pintu Raudhah, makam Rasulullah, menempel di dinding putih ruangan itu.Bau khas memenuhi paviliun. Di ruangan itu, kami diminta menunggu kedatangan Sayyid Ahmad. Terlihat pula, singgasana Sayyid Ahmad, tempat dia biasa memberikan kajian ke santrinya.

“Ayo duduk, duduk,” ujar Habib Assegaf, asisten Sayyid Ahmad, yang kali pertama menyambut kami.

Baca Juga:
Pengalaman Jemaah Naik Bus Shalawat: Setia Antarkan ke Masjidil Haram

Tadinya, kami dipersilakan duduk di kursi yang berderet menempel di sekeliling dinding. Habib Assegaf memaksa, karena menganggap kami adalah tamu. Tapi kami enggan. Lebih ke sungkan, tepatnya. Kami pun memilih untuk mendeprok di atas karpet.

Sayyid Ahmad masih bersiap. Kami menunggu kedatangannya sambil mengobrol dan mengobservasi seisi ruangan tersebut. Satu per satu santri berdatangan. Mereka kompak mengenakan baju thawb. Ada yang langsung duduk membaca Alquran, ada pula yang menunaikan salat sunnah.

Tak lama berselang, Sayyid Ahmad datang. Dia mengenakan thawb dan peci berwarna putih bersih. Kami kompak berdiri. Secara bergiliran, kami mencium tangan Sayyid Ahmad. Berulang kali saat bertemu kami, Sayyid Ahmad berucap, “Masya Allah.” Senyumnya sungguh khas dan hangat.

Tampak di belakang, para santri berbondong-bondong mengikuti sang guru. Lalu, Sayyid Ahmad duduk di singgasananya. Kami dipaksa untuk duduk di kursi. Tapi kami tetap sungkan, enggan duduk sejajar di Sayyid Ahmad. Akhirnya, Nasrullah Jasam yang duduk di kursi, perwakilan kami.

Sebelum kajian dimulai siang itu, kami diminta untuk maju satu persatu. Seorang santri terlihat menyediakan banyak siwak, batang atau ranting dari pohon arak untuk membersihkan gigi. Melalui tangan Sayyid Ahmad sambil didoakan, satu per satu siwak dibagikan ke kami.

Kami kembali duduk. Sebelum kajian, Sayyid Ahmad memberikan kata pengantar untuk menyambut rombongan yang dipimpin Nasrullah Jasam. Lalu, kajian pun dimulai. Sayyid Ahmad meminta santri untuk membedah Surat Al Hujurat. Kami mendengarkan dengan seksama.

Ada dua buku yang dibedah siang itu: Shofwatut Tafasar dan Ihya ulumiddin. Sejujurnya kami memiliki kendala bahasa. Namun, kami mengetahui, yang dirapalkan santri itu merupakan Surat Hujurat. Saban santri yang paling depan membacakan ayat, Sayyid Ahmad pun memberikan komentar, melontarkan tafsir terhadap surat itu.

Namun, ada satu momen dalam kajian tersebut yang membuat kami merinding. Momen itu ketika Muhammad Badri, salah seorang santri asal Indonesia di pesantren, mengalunkan tembang Sluku Sluku Bathok, shawalatan Sunan Kalijaga.

Suara Badri nan merdu membuat kami bergetar. Kami merinding. Ketika dia bershalawat, Sayyid Ahmad terlihat melempar senyum sambil memandang kami dan para santrinya. Kami pun kelu. Mata kami berkaca-kaca. Shalawat tersebut mengingatkan kami dengan kampung halaman, rumah kami, Tanah Air yang kami tinggali untuk bertugas.

Sungguh perasaan yang benar-benar membuat campur aduk. Betapa tidak, tembang itu dilantunkan di kajian seorang ulama besar dan terpandang di Makkah. Momen yang jarang terjadi. Seolah, tembang itu sebagai bentuk sambutan yang sungguh hangat untuk kami, rombongan dari Indonesia.

Sluku-Sluku Bathok
Bathoke Ela Elo
Si Rama Menyang Solo
Oleh-Olehe Payung Mutho

Mak Jenthit Lolo Lo Bah
Yen Mati Ora Obah
Yen Obah Medeni Bocah
Yen Urip Goleko Duwit

Allahumma sholli wa sallim..
‘ala Sayyidina Muhammadin..
Wa ‘ala Ali Sayyidina Muhammad..
Allahumma sholli wa sallim ‘ala

Sayyidina Muhammadin
‘Adada ma bi’ilmillahi sholatan
Daimatan bidawami mulkillahi
Sholatan Daimatan bidawami mulkillahi

Tembang ini merupakan lagu jawa yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga saat menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Memang, lirik lagu ini seperti lagu dolanan untuk anak-anak.

Meski begitu, Sluku Sluku Bathok sejatinya merupakan tembang dakwah. Maknanya pun sangat dalam. Tembang tersebut mengingatkan umat manusia untuk selalu beriman kepada Allah SWT untuk berserah diri.

Jamuan dan kehangatan yang tak ada habisnya

Sebatang siwak mengawali kehangatan bertubi-tubi yang dilimpahkan oleh Sayyid Ahmad kepada kami. Tak lama kemudian, seorang santri tampak memberikan senampan buah Aloo Bukhara kepada Sayyid Ahmad. Usai mengambil satu buah, Sayyid Ahmad meminta santri itu menawarkan ke kami.

Santri itu menyambangi kami. Sambil membawa nampan berisi buah Aloo Bukhara, dia mempersilakan kami mengambil satu per satu. Sembari mendengarkan kajian, kami lahap menyantap buah Aloo Bukhara. Teksturnya bak buah plum, bentuknya bak buah ceri, namun rasanya manis bagai anggur.

Tak lama kemudian, santri lain membawa nampan berisi beberapa gelas teh. Lagi, kami dipersilakan mengambil. Belum selesai teh dibagikan, santri lain membawakan sekardus kurma ajwa. Satu per satu kurma diberikan kepada kami. Entah kenapa siang itu, teh dicampur dengan kurma memiliki rasa yang sungguh nikmat.

Secara berturut-turut saat kajian, para santri membawakan sejumlah makanan bergantian. Sama seperti kurma dan ceri, dua makanan, yakni bolu dan roti diberikan terlebih dahulu ke Sayyid Ahmad. Kemudian, santri membawanya ke hadapan kami. Kami dipersilakan mengambil.

Jamuan dari Sayyid Ahmad tak cuma cemilan. Tak lama kemudian, Sayyid Ahmad mengenakan parfum ke tangannya. Dia lalu kasih kode ke para santri untuk membasuh parfum itu pula ke tangan kami. Bukan cuma satu, tapi dua parfum secara berturut-turut.

Saya memilih untuk mengabadikan wangi itu di gelang tasbih yang saya kenakan. Nantinya, tasbih dan wewangian tersebut itu diharapkan menjadi medium yang membawa saya kembali larut dalam kenangan persamuhan kami dengan Sayyid Ahmad.

Kehangatan itu pun diperlihatkan Sayyid Ahmad ketika berfoto bersama. Satu per satu kami diminta untuk foto bareng Sayyid Ahmad. Tibalah giliran saya. Ketika maju, saya cium tangan Sayyid Ahmad. Tanpa segan dan tak ada jarak, Sayyid Ahmad merangkul saya. Kami foto bersama.

Tidak sampai di situ, kami dibekali satu kantung plastik berisi buku-buku tafsir. Ada sembilan buku yang diberikan ke kami. Beberapa di antaranya, buku Khosoisul ummatil Muhammadiyah; Mafahim Yajibu An Tushah, magnum opus dari Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani; buku Muhammad Al Insanul Insan Al Kamil dan buku Al-Hajj Fadhail wa Ahkam.

Muhammad Khoiron, salah seorang anggota rombongan Kepala Seksi Media Center Haji, mengatakan momen ini merupakan jarang terjadi. Biasanya, Sayyid Ahmad menerima tamu di malam hari dalam majelisnya. Siang hari merupakan waktu yang tak biasa.

“Kita beruntung diterima di majelis Sayyid Ahmad di siang hari dengan orang-orang yang hanya segelintir.”

Kami kira sudah selesai. Sayyid Ahmad memaksa kami untuk santai sejenak sambil menikmati santapan makan siang. Ya, kami disuguhkan beberapa nampan berisi nasi bukhari. Santapan yang paripurna untuk menutup kehangatan sambutan Sayyid Ahmad siang itu.

“Selama 16 tahun tinggal di sini, baru saya makan seenak ini,” ujar sopir kami, menutup persamuhan dengan Sayyid Ahmad siang itu.


Artikel ini bersumber dari www.suara.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *