tribunwarta.com – Seorang wanita Australia yang baru saja diselamatkan dari kamp tahanan Suriah dan dipulangkan ke negara asalnya, mulai menjalani persidangan. Wanita berusia 31 tahun itu dijerat berbagai dakwaan terkait peran mantan suaminya yang merupakan anggota kelompok radikal Islamic State (ISIS).
Seperti dilansir AFP, Jumat (6/1/2023), wanita bernama Mariam Raad (31) ini dipulangkan ke Australia pada Oktober tahun lalu, sebagai bagian dari misi kemanusiaan untuk membebaskan wanita-wanita Australia dan anak-anak mereka dari kamp tahanan di Al-Hol dan Roj, Suriah.
Wanita-wanita Australia yang dibebaskan dari kamp tahanan Suriah itu kebanyakan para istri dari militan ISIS, yang mengakui mereka dipaksa atau ditipu untuk mengikuti suami mereka ke Suriah.
Kepolisian Australia menangkap Raad pada Kamis (5/1) waktu setempat dan menuduhnya telah mengetahui mantan suaminya, yang bernama Muhammad Zahab, merupakan perekrut ISIS ternama dan bahwa dirinya ‘bersedia melakukan perjalanan ke wilayah konflik’.
Raad dijerat dakwaan melakukan perjalanan ke sejumlah wilayah Suriah yang dikuasai ISIS — tindak kriminal di bawah Undang-undang (UU) Australia. Dakwaan itu memiliki ancaman hukuman hingga 10 tahun penjara jika terbukti bersalah.
Raad dibebaskan dengan jaminan setelah sidang awal digelar secara singkat pada Jumat (6/1) pagi waktu setempat. Sidang kasus ini akan dilanjutkan pada Maret mendatang. Pembebasan dengan jaminan itu mencakup kewajiban menyerahkan paspor dan larangan menonton ‘propaganda’ dari ‘organisasi teroris’ manapun.
“Kami memiliki nol toleransi untuk warga Australia, atau siapa saja, yang berusaha melakukan tindak kekerasan atau ekstremisme, dan mereka yang mempertimbangkan untuk melakukan hal yang salah akan menjadi perhatian kami,” tegas komandan antiterorisme Kepolisian Australia Mark Walton.
Simak berita selengkapnya di halaman berikutnya.
Zahad, suami Raad, yang merupakan mantan guru matematika di Sydney diyakini tewas dalam serangan udara di Suriah tahun 2018 lalu. Raad dipulangkan ke Australia bersama tiga wanita lainnya dan 13 anak.
Pemulangan itu menjadi yang pertama dari serentetan misi yang direncanakan otoritas Canberra untuk memulangkan sekitar 20 wanita Australia dan 40 anak-anak mereka yang ditahan di wilayah Suriah bagian timur laut yang dikuasai Kurdi sejak ‘kekhalifahan’ ISIS kolaps tahun 2019 lalu.
Pemulangan wanita-wanita yang dijuluki ‘pengantin ISIS’ itu memicu kontroversi di Australia, di mana sejumlah politisi menyebut wanita-wanita itu memicu risiko bagi keamanan nasional negara tersebut.
Namun beberapa pihak lainnya, termasuk Human Rights Watch, memuji langkah pemerintah Australia dalam menyelamatkan warganya dari kondisi ‘mengerikan’.
Setelah dipulangkan ke Australia, Raad menetap di wilayah Young, sebuah kota kecil yang berjarak 370 kilometer sebelah barat kota Sydney.