tribunwarta.com – Rencana Indonesia untuk menolak perpanjangan moratorium membuat perusahaan teknologi global kelimpungan. Sebanyak 108 asosiasi perusahaan teknologi, termasuk di India dan Indonesia bersurat kepada WTO (World Trade Organization) mendesak adanya pembaruan moratorium.
Jika tidak dilakukan, mereka mengatakan terjadi kemunduran untuk WTO dan juga merusak pemulihan global. WTO diketahui memberlakukan moratorium atas pengenaan tarif bea masuk untuk produk digital sejak 1998. Aturan ini ternyata membuat negara ekonomi berkembang rugi jauh lebih besar dibanding negara maju.
Berdasarkan laporan Reuters, Indonesia, Afrika Selatan, dan India mengancam untuk menolak perpanjangan moratorium tarif e-commerce yang diberlakukan WTO. Dengan begitu, pada masa depan platform streaming seperti Spotify hingga Netflix bisa dikenakan tarif tambahan.
Moratorium tersebut berarti negara anggota WTO tidak bisa menerapkan bea masuk dan cukai atas transmisi elektronik. Pajak impor bisa dikenakan atas konten seperti musik, film, buku, dan peranti lunak yang diperdagangkan dalam bentuk fisik seperti CD, DVD, atau buku. Namun, konten serupa yang diperdagangkan dalam bentuk digital seperti e-book atau file digital dan lewat streaming, bebas dari pajak impor.
Laporan riset UNCTAD berjudul Growing Trade in Electronic Transmission: Implications for the South yang diterbitkan pada 2019, memperkirakan moratorium tersebut membuat negara ekonomi berkembang kehilangan potensi pajak US$8 miliar pada 2017, sedangkan potensi kehilangan pendapatan para negara maju hanya sekitar US$212 juta.
Riset UNCTAD juga memperkirakan potensi pendapatan yang hilang akibat larangan pengenaan tarif bea masuk produk digital di tiap negara. Negara dengan kehilangan potensi pendapatan terbesar adalah India dan China. India kehilangan US$497 juta setiap tahun, sedangkan China kehilangan US$492 juta. Adapun, Indonesia berpotensi kehilangan US$ 54 juta atau sekitar Rp 667 miliar dari pendapatan bea masuk.
John Neuffer, kepala eksekutif Asosiasi Industri Semikonduktor berbasis di Amerika Serikat (AS) menyatakan aliran data bebas tarif penting bagi negara yang ingin menarik investasi asing. Selain juga menawarkan manfaat yang jelas untuk konsumen serta usaha kecil.
“Risikonya adalah jika satu atau dua melakukannya, negara lain akan melakukan hal serupa”