tribunwarta.com – Uni Eropa, sejak Februari 2019 lalu terus melancarkan serangan-serangan untuk mematikan sawit RI. Sudah episode ke-berapa?
Untuk informasi selengkapnya, simak artikel Finansialku di bawah ini!
Rubrik Finansialku
Eits, UE Belum Beres Serang Indonesia
Belum selesai, UE, tahun ini malah akan memperbarui ketentuan standar batas aman terhadap kontaminan 3-monochlorpropanediol (3-MCPD) dalam minyak makan untuk minyak sawit.
Diketahui, UE akan menerapkan batas 2,5 ppm hanya untuk kontaminan 3-MCPD yang ditemukan dalam minyak sawit dalam makanan mulai 2021.
Kandungan ini adalah kontaminan pemrosesan makanan yang banyak ditemukan dalam beberapa makanan olahan dan minyak nabati.
Senyawa 3-MPCD sendiri diketahui sebagai senyawa hasil hidrolisis 3-MCPD ester, yang memiliki efek negatif terhadap kesehatan saat dilakukan pada hewan percobaan.
International Agency for Research on Cancer (IARC), senyawa ini dimungkinkan dapat menyebabkan kanker pada manusia.
Lalu apa hubungannya peraturan ini dengan diskriminasi kelapa sawit Indonesia?
Download Sekarang! Ebook PERENCANAAN KEUANGAN Untuk USIA 30-an, GRATIS!
Merujuk hasil penelitian di Uni Eropa yang dikutip oleh laman cnbcindonesia.com, minyak sawit disebut mengandung 3-MCPD Ester dan GE tertinggi di antara minyak lainnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto, menilai hal ini adalah langkah lain sebagai aksi diskriminasi UE terhadap kelapa sawit Indonesia.
Melansir laman cnnindonesia.com, padahal jika dibandingkan dengan minyak nabati lain seperti minyak canola dan kedelai, UE hanya menetapkan standar sebesar 1,25 ppm saja.
[Baca Juga: Harga CPO Merosot?? Inilah Strategi Ke Depannya]
Oleh karena itu, pihak Indonesia secara terang-terangan menentang peraturan terbaru yang sarat diskriminasi ini. Ia pun menambahkan, seperti dikutip dari laman indonesiainside.id, Jumat (07/02);
“Konsumen akan disesatkan untuk percaya bahwa minyak sawit itu lebih buruk daripada minyak nabati yang sebenarnya memiliki batas 3-MCPD lebih rendah.”
Penasihat Komisi Global untuk Geopolitik Transformasi Energi International Renewable Energy Agency (IRENA), Mari Elka Pangestu bahkan menyatakan kesiapannya untuk melawan UE di WTO untuk memenangkan kelapa sawit dari diskriminasi.
“Biofuel berbasis kelapa sawit dilarang, tapi yang lain tidak dilarang. Itu tidak adil. Namanya diskriminasi, dari segi fairness of trade. Harus fight di Organisasi Perdagangan Dunia.”
Akibat dari tindak diskriminasi yang dilakukan oleh UE ini, Indonesia kehilangan kontrak kerjasama berharga antara Pertamina dengan Eni S.p.A, raksasa minyak dan gas dari Italia.
Kerjasama ini awalnya dilakukan dalam rangka mengembangkan kilang bahan bakar ramah lingkungan di Indonesia.
Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati menjelaskan kalau kerjasama ini, pada perjalanannya harus dihentikan karena polemik diskriminasi sawit Indonesia oleh UE.
“Dalam perjalanannya ada penolakan di Eropa, karena ada keharusan sertifikasi produsen CPO dan kita belum bisa memenuhi.”
Melihat polemik tak berkesudahan ini, peneliti CNBC Indonesia, Yazid Muamar, mengatakan kalau hal ini termasuk ke dalam kompetisi bisnis, mengingat efisiensi dan harga CPO dibanding minyak nabati (jagung, kedelai, canola) lebih tinggi.
Drama Sawit RI dan Uni Eropa, Berapa Lama Lagi?
Penyerangan dalam rangka pelumpuhan kemajuan ekonomi suatu negara dengan seenaknya menerapkan peraturan-peraturan dengan berbagai dalih tentu tidak bisa dibenarkan.
Serangan kedua sudah dilancarkan UE. Kini, kita hanya perlu tunggu gerakan diplomatis Indonesia dalam memenangkan perang dingin ini.
Menurut Anda, apa langkah tepat yang harus dilakukan oleh Indonesia untuk menangkis serangan dari UE ini? Kami menunggu pendapat Anda di kolom komentar!
Sumber Referensi:
Sumber Gambar: