tribunwarta.com – Dunia saat ini sedang mendapatkan tantangan baru. Hal itu disebut VUCA, yang merupakan singkatan dari volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti mengatakan singkatan ini menggambarkan kondisi dunia yang saat ini tengah kita rasakan, dimana terjadi perubahan yang sangat cepat, sulit diprediksi, dipengaruhi banyak faktor, dan realitas menjadi sangat subjektif.
“Jadi ini sudah tumpuk-tumpuk kalau kita bilang global ini mengalami kondisi yang namanya VUCA, volatility tinggi, uncertainty tinggi, complexity sangat kompleks, dan ambiguity,” jelasnya dalam kegiatan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan Bali Nusra, Jumat (9/12/2022).
Dia menilai kondisi inilah yang menyebabkan inflasi tinggi di Amerika dan Eropa yang kemudian memicu mereka untuk mengambil kebijakan moneter menaikkan suku bunga. Menurutnya, ada kekagetan yang dirasakan negara maju ketika inflasinya berada di kisaran 9% hingga 10% padahal umumnya inflasi mereka hanya berkisar di 2%.
“Negara berkembang ya inflasi bisa tinggi sekali tapi negara maju nggak pernah, kaget mereka dan apa yang dilakukan? dihajar dengan suku bunga. Suku bunganya dinaikin terus sampai akhirnya itu fed fund rates itu bayangkan kalau awal tahun masih 0,25% posisi sekarang sudah di 3,75 sampai 4%, naik 400 basis poin, kenapa ekonomi nggak langsung terpuruk,” paparnya.
Namun, menurutnya langkah yang diambil negara maju dalam menaikkan suku bunga untuk menangani inflasi kurang tepat. Pasalnya, penyebab inflasi datang dari sisi supply sedangkan kebijakan moneter adalah kebijakan yang seharusnya diambil ketika masalahnya berasal dari sisi demand-nya.
“Kenapa mereka naikkan seperti itu? Karena mereka mau menangani inflasi. Inflasi mereka sampai 9% jadi mereka berusaha untuk menangani inflasi dengan kebijakan moneter, padahal masalahnya supply side. Kalau kita bicara kebijakan moneter kan kita lebih fokus demand side,” pungkasnya.